Terdapat 10 kaidah dari ushul fiqih yang perlu dipahami oleh pada dai dalam berdakwah. Kaidah tersebut antara lain; Memberi keteladanan sebelum berdakwah, mengikat hati sebelum menjelaskan, mengenalkan sebelum memberi beban, bertahap dalam pembebanan, memudahkan bukan menyulitkan, yang pokok sebelum yang cabang, membesarkan hati sebelum memberi ancaman, memahamkan bukan mendikte, mendidik bukan menelanjangi, dan muridnya guru bukan muridnya buku. berikut akan dijelaskan secara singkat, padat, dan jelas mengenai intisari kesepuluh kaidah tersebut berikut tanggapan penulis.
Kaidah 1: memberi keteladanan sebelum berdakwah
dai bagaikan pelita di kegelapan malam. tanpa kehadiran dai (orang yang berusaha untuk mengajak manusia-dengan perkataan dan perbuatannya-kepada islam, menerapkan manhajnya, memeluk akidahnya, dan melaksanakan syari’atnya), kaum muslimin akan menjadi orang-orang yang bodoh. melalui dakwah para dai, kesesatan dapat disingkirkan dari pikiran manusia, dan awan keraguan dapat disingkap dari hati dan jiwa mereka.
perilaku dan amal para dai adalah cerminan dari dakwahnya. oleh karena itu, Allah mengutus Nabi SAW sebagai Rasul-Nya untuk menjadi teladan umat manusia. Allah menghendaki utusanNya yang menjadi teladan dalam perilaku, ibadah, muamalah, dan kebiasaan sehari-hari. jadi, wajib bagi seorang dai untuk mempelajari perjalanan hidup Rasulullah. Karena sirah nabawiyah menceritakan kita tentang kepribadian manusia yang dimuliakan Allah sehingga menjadi teladan yang paling sempurna bagi orang-orang beriman bahkan menjadi tokoh idola umat manusia. keteladanan Rasulullah bukan sekedar untuk dibanggakan, tetapi untuk diikuti umat manusia sesuai kemampuan masing-masing. karena islam melihat bahwa keteladanan merupakan sarana dakwah dan pendidikan paling efektif.
keteladanan dilihat dari perilaku. seorang anak membutuhkan teladan/ contoh yang baik dari keluarganya, keluarga membutuhkan teladan dari masyarakat, masyarakat membutuhkan teladan dari pemimpinnya. bagaimana mungkin seorang pendusta mendakwahi rakyatnya untuk bersikap jujur? berdakwah tanpa keteladanan tidak akan memberi arti apa-apa, tidak akan didengarkan, bahkan meninggalkan pengaruh buruk pada diri objek dakwah.
keteladanan harus dimulai dari diri sendiri. seorang mukmin sejati wajib memulai sesuatu dari dirinya sebelum dia mengajak orang lain, sehingga akan terlihat dengan jelas bahwa dai melakukan apa yang ia katakan, bukan hanya menjadi tukang bicara. para dai hendaklah menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat sehingga risalah yang mereka dakwahkan tergambar dalam langkah-langkah mereka. yang berbahaya adalah apabila agama telah berubah menjadi profesi, bukan lagi sebagai akidah serius yang mampu memotivasi. Allah telah memperingatkan hal ini pada QS. Al-Baqarah (44). karena dakwah yang hanya menjadi profesi adalah dakwah yang akan muncul tanpa ruh, tidak muncul dari hati. oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap dai untuk mengekspresikan setiap nilai yang hendak disampaikan dalam dakwah melalu ucapan dan perbuatan. dari sinilah, dai wajib untuk bersungguh-sungguh menginstrospeksi diri, sehingga dapat selalu istiqomah dalam ketaatannya, karena jika demikian, apa yang tampak pada lahir sama dengan batin.
tanggung jawab para dai terhadap masyarakatnya seharusnya tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap diri mereka sendiri. kesibukan untuk memperbaiki manusia seharusnya tidak memalingkannya dari memperbaiki keadaan mereka sendiri. hendaknya para dai memelihara dirinya dan membersihkan hatinya serta bermuhasabah terhadap seluruh anggota badannya dengan melakukan perenungan sejenak disela-sela waktunya. dengan selalu berterus terang pada diri sendiri pula, keteladanan dai tidak mudah terlupakan oleh objek dakwah. keteladanan yang baik itu merupakan dakwah amaliyah dan bukan dakwah lisan saja. keteladanan berarti dakwah dengan perilaku sebelum dakwah dengan perkataan.
Kaidah 2: Mengikat hati sebelum menjelaskan
Risalah islam adalah risalah rahmah (kasih sayang). risalah islam itu sesuai dengan fitrah manusia, yaitu mencintai orang yang bersikap baik kepadanya dan membenci orang yang bersikap buruk. dai yang bijaksana adalah dai yang melihat hati-hati manusia yang tertutup kemudian berupaya membukanya dengan lemah lembut dan berinteraksi dengan penuh kasih sayang dan berusaha menghadirkan perasaan cinta dalam berbicara dengan objek dakwah, tanpa mengurangi bobot dan isi yang didakwahkannya. dengan itulah maka hati yang keras akan menjadi lunak, jiwa yang penuh maksiat menjadi istiqomah dalam kebaikan. tutur kata yang baik merupakan kunci untuk membuka hati manusia agar mau menerima seruan untuk kemudian mau melaksanakannya, dan merupakan jembatan antara dai dan objek dahwahnya.
jika kau seorang dai, pertama kau perlu menanamkan pada diri objek dakwah bahwa kau menyeru mereka kepada sebuat prinsip nilai, bukan demi kemaslahatan pribadi. objek dakwah perlu melihat bukti nyata dari kebenaran prinsip yang dibawa dai, baru mereka akan yakin dan turut dengan ajakanmu. kedua, hendaknya memberikan kesan kepada objek dakwah bahwa engkau selalu menaruh perhatian kepadanya dan menginginkan kebaikan baginya. ketiga, hendaknya kau tidak bersikap keras, meskipun hanya dengan kata-katamu, karena kekerasan tidak akan membawa kebaikan. hal ini dapat kita ambil pelajaran pada kisah nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala milik orang musyrik, dengan kekerasan, maka mereka malah semakin membenci Ibrahim maka Allah menurunkan ayat untuk menegurnya. keempat, hendaknya kamu membuat objek dakwah itu dekat denganmu, berseri muka dihadapannya, dan jangan mencari-cari kekurangannya.
sikap lemah lembut yang mengikat hati ini telah banyak dicontohkan/ dikisahkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. dalam hadits yang diriwayatkan Al-Maruzi, ketika ada seorang laki-laki datang menanyakan tentang apa itu agama, Nabi menjawab agama adalah akhlak yang baik, dan berbagai macam contoh/ kisah lain. oleh karena itu, dai perlu memiliki dua sifat utama, yaitu bersikap lemah lembut kepada manusia ketika berdakwah, dan menahan marah ketika bergaul dengan mereka. dakwah harus selalu dilakukan dengan wajah yang berseri, sikap dan pembicaraan yang lemah lembut, menutupi aib dan menampakkan kebajikan. dakwah merupakan langkah-langkah terprogram untuk berinteraksi dengan jiwa manusia yang bermacam-macam tabiatnya.
dilanjutkan, kelima, jika kau adalah seorang dai, hendaknya kamu menghadapkan wajahmu ketika berbicara dengan objek dakwah, jangan kamu putus pembicaraannya, dan janganlah pula kamu lecehkan kata-katanya. dalam etika berdialog, hendaknya para dai ‘menghargai’ musuhnya, sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rasulullah. beliau berbicara kepada musuhnya dengan adab yang mulia dan penghargaan yang tampak jelas, serta memanggilnya dengan panggilan yang disukai. selain itu, hendaknya para dai berlapang dada untuk mendengarkan pendapat orang lain dan sudut pandang mereka dalam menatap setiap permasalahan, apapun pandangan mereka. keenam, ketika berbicara dengan objek dakwah janganlah kau merasa lebih tinggi daripadanya dan tempatkan ia sesuai posisinya, karena itu sudah merupakan sikap sombong, dan Allah melaknatnya. ketujuh, hendaknya engkau menasehati objek dakwah dengan rahasia, janganlah engkau membuka aibnya dihadapan orang banyak. kedelapan, hendaknya memberikan hadiah kepada objek dakwah untuk melunakkan hatinya. Allah berfirman tentang hal ini pada QS. At-Taubah (60). Nabi bersabda “hendaknya kamu saling menghadiahi, karena sesungguhnya hadiah itu dapat menghilangkan sakit kati”, dsb.
kesembilan, hendaknya seorang dai merangsang tekad objek dakwah agar hatinya terbuka untuk menerima kebenaran. seperti, memuji atas hal-hal kecil dari kebaikan yang ada pada objek dakwah, meski hanya sekecil biji bayam. para dai pula seharusnya dapat bersikap ramah (mudaarah) terhadap orang awam, maksudnya bersikap lemah lembut dan berseri muka dihadapan objek dakwah tanpa menyembunyikan kebenaran, atau mengatakan baik sesuatu yang batil, tidak menyembunyikan hakikat. hal ini tersurat pada QS. Al-Qalam (9). kesepuluh, hendaklah menjauhi perselisihan dalam masalah fiqih dan meninggalkan debat atau saling berbangga diri dengan pendapatnya. karena hal inilah yang akan merusak persatuan umat muslim dan umat manusia.
dengan kesepuluh hal inilah, seorang dai dapat mengupayakan objek dakwah agar mencintai islam, dengan mengikat hati mereka dengan kelemahlembutan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Kaidah 3: Mengenalkan sebelum memberi beban
para dai perlu memerhatikan prinsip yang seharusnya dipenuhi dalam rangka meluluhkan hati sang objek dakwah, yaitu ‘at-ta’riif qabla at-taklif’ (upaya untuk membuat senang dalam menggeluti kebenaran), mendorong mereka untuk beramal dengan kebenaran itu, dan menjelaskan tentang besarnya pahala yang dijanjikan atas setiap orang yang mau berbuat demikian. sebelum memberi beban, perlu ada fase pengenalan kepada objek dakwah. fase pengenalan merupakan fase terpenting dalam dakwah, karena apabila seorang dai baik dalam mengemukakan awal dakwahnya berua pengenalan, maka hati manusia akan terbuka untuk menerimanya dan mereka menjadi senang untuk melaksanakannya.
Al-Qur’an diturunkan untuk mengenalkan kepada manusia tentang empat persoalan, sebelum memberikan beban kepada mereka dengan perintah apa pun, yaitu; mengenalkan kepada mereka tentang Rabb mereka agar mereka beribadah kepadaNya, mengenalkan akan diri mereka agar mereka memahami hakikat keberadaan atau eksistensi mereka, mengenalkan tentang alam semesta agar mereka menggunakan dan memakmurkannya, dan mengenalkan kepada mereka tentang akhir perjalanan hidup yang menanti-nanti mereka di akhirat. ini semua agar mereka memiliki persepsi yang benar dan keyakinan yang lurus, sehingga perilakunya menjadi benar.
yang didahulukan dalam mempelajari islam adalah penerimaan kita terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah. sehingga akan muncul rasa ketaatan sebagai buah dari pengetahuan tentang Allah dan rasulNya. kemudian, setelah selesai mengenalkan kebenaran, hal pertama kali yang harus dilakukan para penegak kebenaran adalah membuka mata orang lain untuk melihat sinarnya, dan memberitahukan kepada orang-orang yang tidak tahu terhadap kebenaran serta menjadikan kebenaran itu dalam kehidupan ini menjadi jelas. hal ini dilakukan bukan dengan kekerasan, akan tetapi dengan cara menarik perhatian dan menjelaskan yang masih samar serta menguraikan yang masih belum bisa dipahami.
ada beberapa tahapan dakwah yang perlu dilampaui, yaitu: tahap pengenalan terhadap pola pikir, tahap pembentukan (seleksi pendukung, dan kaderisasi serta pembinaan), dan tahap aksi dan aplikasi. seorang dai wajib memberikan menjelasan kepada objek dakwahnya sebelum ia memberikan tugas dengan berbagai beban di perjalanan. dan perlu diingat sesungguhnya jalan dakwah ini akhirnya adalah menyenangkan “Aku dan rasul-rasulKu pasti menang, sesungguhnya Allah maha kuat lagi maha perkasa.” (QS. Al-Mujaadilah:21). oleh karena itu, dai wajib memberitahukan kepada orang-orang yang menempuh perjalanan dakwah tentang urgensi “kepercayaan” (tsiqah) di sepanjang perjalanan itu. Tsiqah itulah yang akan mampu mengantarkan mereka kepada tujuan yang diinginkan sehingga tidak tersesat ditengah jalan.
seorang dai perlu menentukan tujuan-tujuan (sasaran-sasaran) yang harus dicapai sebagaimana juga harus menentukan tahapan-tahapan yang akan ditempuh dalam aktivitas dakwah. di antara target yang hendak diraih adalah terwujudnya “kepribadian islami” yang utuh dan sempurna. yaitu kepribadian yang memiliki kriteria; paham, ikhlas, amal, jihad, pengorbanan, taat, teguh pendirian, totalitas dalam berislam (tajarrud), ukhuwah, dan kepercayaan (tsiqah).
Kaidah 4: Bertahap dalam pembebanan
pekerjaan paling berat dan paling sulit diantara yang sulit adalah aktivitas pendidikan dan pembinaan, karena didalamnya terdapat interaksi dengan jiwa manusia dengan berbagai keragu-raguan. Jiwa manusia biasanya cenderung untuk bengkok, penyimpang, dan berbuat maksiat, sehingga apabila dai lencoba langsung memperbaiki jiwa itu secara frontal, berarti ia telah membenturkan diri dengan objek dakwahnya. Setiap dai wajib bersikap lemah lembut dan melakukan pendekatan serta terapi secara bertahap. Seperti Allah mengajarkan, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, 23 tahun, sesuai dengan kondisi masyarakat Arab saat itu dan tingkat pemahaman mereka (Al-Isra:106). Tahapan-tahapan ini membuta manusia dapat mengenal dan tidak terasa berat. Langkah awal dari sebuah upaya perbaikan itu dimulai dari diri pribadi sang dai, sampai ia yakin bahwa dirinya telah berpijak diatas kaidah yang benar dalam memberikan pengarahan.
Dai harus berbicara kepada orang sesuai dengan kadar pengetahuannya, mendekati objek dakwah dimulai dari titik taraf pemahamannya. Dai menjelaskan/ mengenalkan dan memberi pengarahan sesuai kondisi objek dakwah saat itu, sehingga perlu pula menunda penjelasan yang memang seharusnya belum waktunya untuk dijelaskan. Banyak sekali datang perintah dari Allah berupa kewajiban-kewajiban, tetapi Rasulullah tidak menjelaskannya kecuali ketika dibutuhkan dan siap diamalkan, misalnya masalah shalat. Prinsip tadarruj (bertahap) ini adalah prinsip asasi dalam berdakwah, hingga manusia memahami agama ini sesuai dengan kemampuan akal dan menerima dengan hatinya.
Kaidah 5: Memudahkan, bukan menyulitkan
“Allah menginginkan kemudahan bagi kamu, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Setiap dai wajib melihat objek dakwahnya dengan jiwa dan pandangan seorang pendidik yang penuh kasih sayang, rendah hati, dan pemaaf. Senantiasa mengharap kebaikan atas diri objek dakwahnya, bukan malah memandang objek dakwah dengan pandangan penuh kepura-puraan, sok alim dan berusaha menampilkan kesan dihadapan mereka mahwa dirinya adalah yang paling pintar di muka bumi. Dari sinilah, dai wajib berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar akalnya, sehingga memudahkan apa-apa yang terasa sulit dan menjelaskan apa-apa yang belum jelas bagi mereka.
Diantara upaya mempermudah itu adalah menjauhi sikap sok fasih (tafashshuh) dan berlebihan dalam berbicara. Yang laing penting, dai perlu menghubungkan antara tema yang ia bicarakan dengan realitas yang sedang dihadapi oleh objek dakwah, dengan cara membuat ilustrasi yang mudah dipahami, membangkitkan perhatian, dan menggunakan perbandingan dengan hal-hal serupa. Dai juga hendaknya mengikutsertakan objek dakwah dalam pembicaraan dengan suasana dialogis (komunikasi dua arah), agar dapat diukur sejauh mana pengertian yang dapat ditangkap oleh objek. hendaknya pula tidak berlebihan dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada objek dakwahnya, sebelum ia yakin bahwa dia sendiri menguasai jawabannya beserta seluruh argumentasi dan dalil-dalilnya. Nabi bersabda (diriwayatkan oleh Anas bin Malik) “Permudahlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.” (HR.Bukhori).
Frekuensi dalam memberi nasihat juga jika diperlukan perjaranglah, agar tidak terjadi kebosanan pada objek dakwah. Yang diperlukan adalah kontinuitas dengan syarat boleh setiap hari tetapi tidak memaksakan, atau sehari ya sehari tidak sehingga ada waktu untuk beristirahat dan memperoleh kembali semangat pada hari berikutnya. Pada awalan, objek dakwah terlebih dahulu boleh meninggalkan yang sunah jika khawatir menimbulkan kejenuhan. Juga jika dai menjadi imam, ringankanlah shalatnya, karena diantara objek dakwah ada yang lemah, sakit, atau renta. Sehingga tidak membuat manusia lari. Yang lebih penting adalah mendahulukan yang wajib-wajib sebelum yang sunnah. Kalau kamu seorang dai, dan kamu mendakwahi manusia ke jalan Allah, bukalah kesempatan bagi mereka untuk melaksanakan rukhshah, dan bersikap lemah lembutlah terhadap mereka, dan janganlah engkau membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup membawanya.
Kaidah 6: Yang Pokok sebelum yang cabang
Seorang dai ketika berinteraksi dengan jiwa manusia, hendaknya berupaya untuk dapat masuk ke dalam jiwa para objek dakwahnya dan memahami perasaan mereka. Baru setelah itu dia dapat menggerakkan hati nurani mereka dan membangkitkan perasaan mereka menuju Allah. Jika tahapan itu telah terlaksana dan hati mereka menjadi lunak, maka dia akan bisa mengarahkan mereka kepada apa yang dia inginkan, dan mereka pasti akan menyambut seruannya dengan ijin Allah. Dai wajib memulai dari yang pokok dengan metode yang mudah dipahami oleh objek dakwah, sehingga pesan dakwah bisa sampai kepada mereka. Seperti turunnya Al-Qur’an, ia memulai dari yang pokok, mengenai ketuhanan, mengenalkan Allah, dll karena Al-Qur’an sangat memerhatikan manhaj pendidikan.
Dai harus memulai dengan akidah terlebih dahulu sebelum yang lainnya, atau sebelum masalah-masalah pembebanan dan penetapan hukum, sebagaimana Al-Qur’an mengajarkan. Hendaknya dai meluruskan terlebih dahulu akidah umat dan menggerakkan perasaan mereka serta membangkitkan hati nurani mereka agar segera sadar dari kelalaian. Islam mempersatukan kamu muslimin di atas pondasi berikut; pertama, perasaan yang satu (masya’ir waahidah) sehingga mereka menghadap Tuhan yang satu, kedua, kesatuan ibadah (Sya’ aa’ir waahidah) ibadah yang ada adalah manifestasi penghambaan dan berfungsi untuk memperdalam iman dan mengikat kerukunan di antara mereka. Ketiga, kesatuan sistem hidup (syaraa’i waahidah) aturan Allah. Jika hati-hati manusia sudah menyatu dan ibadahnya pun satu maka akan mudah untuk ditegakkan karena mereka bergegas berlomba dalam kebaikan.
Jadi, hal pertama yang perlu diajarkan adalah mengenai keimanan, agar mereka memahaminya. Baru menjelaskan tentang hal-hal fardlu. Setelah itu secara bertahap kita memperkenalkan keutamaan-keutamaan yang sifatnya sunah kepada mereka. Misal, jika mereka bertanya tentang sholat, jawablah dengan shalat wajib lima waktu. Hal penting pula, dai hendaknya menjauhi titik singgung perbedaan. Banyaknya masalah-masalah furu’ (cabang) jika terus diperdebatkan, sehingga dapat memecah belah shaf dan persatuan umat. Maka, jika menemukan perbedaan, selesaikanlah dengan ‘kaidah emas’ seperti yang sikatakan Imam Syahid “kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati bersama, dan saling memaafkan dalam hal hal yang kita perselisihkan.” Bahayanya adalah jika sibuk dengan perbedaan kecil, maka akan mengesampingkan persoalan besar.
Oleh karena itu, wajib setiap mengawali dakwah, memulai aktivitas dakwah dengan yang pokok sebelum yang furu’, hal hal yang bersifat kuliyat (keseluruhan), sebelum yang juz’iyat (sebagian), yang ijmaliy (global) sebelum yang tafshiiliy (rinci).
Kaidah 7: Membesarkan hati sebelum memberi ancaman
Seruan berbuat kebaikan, melaksanakan ketaatan dan beristiqomah di atas perintah Allah adalah amal saleh yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Setiap dai wajib mendahulukan kabar gembira (bisyaarah atau targhib) sebelum memberi ancaman (nadzaarah atau tarhib). Contohnya, seorang dai semestinya terlebih dahulu memberikan kabar gembira kepada objek dakwah untuk beramal dengan ikhlas, sebelum memberi ancaman kepadanya tentang bahaya riya’. Memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan bisa membuat hati menerima dengan baik dan lega. Diantara ayat Allah tentang kabar gembira: Asy-Syu’ara (78-82), Al-Hadid: 28, An-Nahl:97, Nuh:10-12, Al-Baqarah:261,, dll.
Para dai hendaknya menyampaikan kabar gembira atau motivasi sebelum menyampaikan ancaman, agar hati tertutup bisa terbuka. Dai pula hendaknya memahami kondisi objek dakwahnya sebelum dia mendakwahi mereka, sehingga dia tidak menakut nakuti mereka sebelum menyampaikan kabar gembira. Seperti yang dicontohkan Nabi ketika mengajak ‘Adi bin Hatim masuk islam, berbicara dengan sesuatu yang dapat membuat objek dakwah tertarik pada dakwah ini. Para dai hendaknya selalu mendorong objek dakwahnya untuk berbuat baik. Apabila dia sudah melihat kebajikan pada objek dakwahnya, hendaklah dia mendorongnya untuk terus meningkatkan. Dalam hadits Nabi, mengisahkan tentang si pembunuh seratus jiwa yang diambil oleh malaikat rahmat karena jaraknya lebih dekat ke tempat yang baik walau hanya sejengkal, dan kisah lainnya. Janganlah sekali-kali memberi kesan kepadanya bahwa dia jika dia telah banyak bermaksiat, dosannya besar dan ia tidak akan diampuni.
Ketika berbicara dengan objek dakwah, seorang dai wajib untuk tidak membebaskan dirinya dari kesalahan. Dai perlu menanamkan kesan pertama kali bahwa dirinya juga manusia biasa sebagaimana mereka, terkadang benar terkadang salah. Maka, agamalah sebagai nasihat, bagi Allah, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang awam.
Setelah menyampaikan targhib, hendaklah dilanjutkan dengan mengenalkan kepada mereka hakikat dunia dan pengaruhnya, sehingga menjadikan landasan mereka tak terlalu terikat olehnya. Jiwa manusia, sebagaimana dia ditundukkan dengan cara memberi dorongan, dia juga harus ditundukkan dengan cara diberi peringatan dan ancaman. Karena peringatan ini akan mampu menjauhkan mereka dari perbuatan hina dan tercela, yakni setelah tumbuh dalam jiwa mereka rasa takut akan akibat yang akan menimpanya. Dengan demikian, dai telah berinteraksi dengan fitrah manusia tanpa membenturkannya dengan benturan yang keras, tetapi melatih dan mengobatinya, sehingga fitrah itu kembali seperti semula sebagaimana pertama kali diciptakan Allah.
Kaidah 8: Memahamkan bukan mendikte.
Semua amal menuntut adanya pemahaman mendalam tentang pokok-pokok ajaran islam maupun cabang-cabangnya, dasar-dasar islam maupun detail ajarannya, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW. Bukan sekedar nash-nash yang dibacakan saja, tetapi juga ruh yang menghidupkan dna cahaya yang menerangi jalan. Dai perlu memerhatikan situasi dan kondisi dalam menyampaikan dakwahnya dan selalu mengutamakan kemaslahatan. Tidak mungkin tujuan dakwah akan tercapai hanya dengan nash-nash secara tekstual.
Seperti pada QS. Al-Anbiya: 78-79, Allah memahamkan Sulaiman untuk memberikan keputusan/ hukum atas sesuatu, para dai pun membutuhkan pada hikmah yang disertai dengan ilmu dan bukan sekedar ilmu saja. Dari sinilah, maka tranformasi ilmu (talqin) dengan mendikte saja tidak cukup. Bahkan dapat membahayakan pada kadar tertentu. Para dai hendaknya berhati-hati dalam menghukumi seseorang, sehingga tidak salah dalam memvonis dan tidak menyakitkan hati orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka, para dai perlu mempelajari islam secara keseluruhan, tidak hanya kontekstual, karena justru hal ini bisa memacu perpecahan. Adapun kita dapat memetik pelajaran dari kisah sekelompok teman yang mematahkan meja makan temannya ketika diundang makan, mereka berdalih bahwa temannya salah telah menghidangkan makanan di atas meja makan, padahal rasulullah tidak pernah melakukannya. Maka, temannya membalas dengan merusak sepeda-sepeda kelompok temannya itu dengan berdalih bahwa Rasulullah tidak pernah menggunakan sepeda. Inilah contoh pemahaman yang salah terhadap nash-nash hadits sehingga menimbulkan kerusakan. Sikap semacam ini sama saja dengan menegakkan sunnah dengan bid’ah dan menghapus bid’ah dengan memunculkan bid’ah yang lebih parah.
Kaidah 9: Mendidik, bukan menelanjangi
Instrospeksi seorang dai untuk mengetahui aib-aib dirinya dan dengan tujuan mengobatinya merupakan sesuatu yang sangat urgen. Karena orang yang tidak pernah instrospeksi diri dan merasa bahwa pendapat-pendapatnya yang paling benar akan menghilangkan persaudaraan islam. Secara alami, jiwa manusia mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan membenci yang berbuat buruk kepadanya. Oleh karena itu, dai harus memasuki jiwa manusia itu dari pintu “kebaikan” bukan dari pintu “keburukan”. Seorang dai harus bersih dari sikap sok pandai, sikap sok intelek, cinta popularitas, ambisi kepemimpinan, dan keinginan-keinginan nafsu lainnya.
Dai yang benar dan lurus adalah mereka yang senantiasa menjauhkan hal-hal tersebut dalam kehidupannya. Perasaan iba terhadapt orang yang bermaksiat adalah dengan menutupi aibnya, bukan malah menyebarkannya. Hal itu lebih baik dan lebih bermanfaat daripada perasaan sombong yang hanya akan memperlebar kesenjangan antara dai dan objek dakwah, dalam hadits Nabi, Allah pun menghendaki kita untuk selalu bertawadhuk.
Semestinya seorang dai menutupi aib orang lain, bukan justru membeberkannya. Karena risalah dakwah adalah risalah pendidikan, maka sejak awal seorang dai harus mengedepankan kepribadian bermoral. Merahasiakan aib objek dakwah dapat membuat mereka merasa aman dan dilindungi sehingga mereka akan lebih dekat dengan dai, dengan demikian nilai-nilai islam dapat dengan mudahnya diterima mereka. Demikian, Rasulullah pun senang memegang tangan orang yang bermaksiat, menutupi aurat dan menerima kesalahannya serta membantunya untuk melawan setan yang ada pada dirinya, sehingga apabila beliau melihat ada seseorang yang berbuat salah, beliau tidak menyebut namanya dan tidak menunjukkannya dihadapan khalayak. Dai harus mengingat betul, bahwa orang yang memerintahkan orang lain untuk berbuat baik, hendaknya juga menggunakan cara ynag baik.
Allah berfirman dalam QS. Lukman: 18, bahwa manusia Janganlah sombong, janganlah memalingkan wajahmu apabila engkau berbicara dengan mereka. Akan tetapi, tetaplah bersikap lemah lembut terhadap mereka dan rendahkanlah dirimu terhadpa yang muda maupun yang tua dari mereka. Allah memerintahkan kita untuk bergaul dan memperlakukan manusia dengan baik, dengan memaafkan mereka yang bersalah, apalagi kepada mereka yang telah bertobat, agar kita menjadi teladan, sehingga sikap seperti ini akan berpengaruh terhadap orang orang yang kita dakwahi ke arah kebaikan.
Akhlak para dai adalah akhlak yang membangun dan bukan merusak, yang meluruskan bukan menghina, apalagi sampai mencela dan memperlakukan orang lain di hadapan umum, dalam pergaulan.
Kaidah 10: Muridnya guru, bukan muridnya buku
Diantara kesalahan paling mendasar yang dilakukan oleh sebagian dai muda adalah mengambil nash-nash Al-Qur’an maupun hadits secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa mau merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu. Dai perlu berguru pada orang alim yang ahli ilmu agar pemahamannya lebih komprehensif, sehingga dai akan berhati-hati. Alangkah perlunya seorang dai memiliki sikap Wara’ (kehati-hatian) di luar ilmu yang dia miliki, sehingga tidak merasa berat untuk mengatakan Laa Adrii (saya tidak tahu). Yakni dicontohkan, ketika Nabi didatangi Jibril bertanya tentang islam, iman, ihsan, dan ketika ditanya tentang Hari kiamat, beliau mengatakan bukannya yang lebih tahu adalah yang bertanya. Dengan ini Nabi mengajarkan pada para sahabat untuk berhati-hati mengatakan sesuatu diluar yang kita kuasai.
Pendidikan itu membutuhkan fiqih yang mendalam. Mustahil seorang dai memperoleh pemahaman yang mendalam apabila ia hanya menjadi muridnya buku, atau hanya mengumpulkan tulisan-tulisan dan menghafal isinya. Kalau ia ingin memiliki pemahaman yang benar, dia harus berhadapan dengan seorang guru yang membimbingnya. Seorang muslim tidak mungkin memperoleh pemahaman hanya dari lembaran-lembaran yang dia baca, melainkan harus melalui proses belajar kepada guru yang membimbingnya.
Jadi, untuk mencapai tegaknya syari’at islam, dibutuhkan pembinaan generasi melalui tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari fase pengenalan, penyucian diri, penyeleksian, sampai fase penanaman akidah untuk mewujudkan para dai sejati atau pilar-pilar dakwah. oleh karena itu, para dai wajib menjelaskan kepada objek dakwahnya tentang pentingnya menimba ilmu dari orang alim, atau dai yang cerdik yang memahami dakwahnya dan memahami manhajnya.
Disitu, bertemu antara guru dan murid. Dai perlu pula belabar dari pengalaman orang-orang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan, agar memelihara dirinya dari kesesatan. Seorang aktivis yang paham adalah orang yang mau mengambil pelajaran dari pengalaman dan berbagai eksperimen yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu.
Demikianlah, apabila seorang dai menjadi murid seorang imam dalam masalah fiqih dan harakah, pengetahuan dan pengalaman, nantinya ia akan bisa memberikan apa yang pernah dia peroleh dari guru-gurunya kepada orang yang mereka dakwahi, sehingga terwujudlah dakwah yang benar dengan pengalaman yang detail. Dengan demikian, dakwah akan mewarisi barakah serta menebar hidayah.
Resume BAB IV ‘Fiqih Dakwah’ oleh Jum’ah Amin Abdul Aziz
Syarifah Lubbna,0906511233
8 september 2012;
9.36 @Asrama AcehLt.4 Depok