Kanker: Sudah Kenal?

Ketertarikan mempelajari apa dan bagaimana itu kanker berawal dari kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya untuk bekerja di Rumah Sakit Pusat Kanker Nasional di Indonesia. Bercampur hal yang saya rasakan, antara bahagia dan prihatin. Ya, bahagia karena saya yakin banyak hal baru yang bisa saya pelajari di tempat ini. Namun, prihatinnya karena semakin banyak pasien berdatangan dan kasus kompleks yang saya pelajari, berarti semakin terlihat bahwa masyarakat Indonesia ternyata tingkat kesehatannya cukup buruk. Hal ini yang tersirat dalam benak saya. Sepakat?

Apa kata yang pertama kali terpikirkan oleh teman-teman saat mendengar kata kanker? “penyakit mematikan?” “vonis mati?” ganas?” membunuh perlahan?” jujur, saya tidak bisa mengatakan apa yang teman-teman pikirkan itu salah atau benar, karena proses yang terjadi dibalik kata “kanker” ini cukup kompleks. Tergantung lokasinya, tergantung faktor resikonya, tergantung penyebarannya, tergantung kondisi kesehatan pengidapnya, dan banyak hal lain yang perlu kita pertimbangkan. Mungkin di lain kesempatan kita akan berdiskusi tentang ini.

Okay. “lalu, apa pentingnya buat saya mengetahui tentang kanker?” itu urusan orang-orang di rumah sakit saja”. Mungkin untuk teman-teman yang ranah ilmunya dibidang lain, atau mungkin yang pernah mendengar namun tidak mau tau karena menganggap hal itu mengerikan, beropini demikian. Boleh-boleh saja, tapi apakah kita yakin kalau kita atau keluarga kita sama sekali tidak memiliki resiko untuk didatangi “si kanker” itu suatu saat?

Stop sampai di sini dulu, jadi “Kanker: Sudah kenal?” 😀

 

Belajar Merawat Mimpi – 2

Merawat mimpi

Ada yang bilang, kunci kebahagiaan adalah mempunyai impian. Sedangkan kunci kesuksesan itu sendiri adalah mewujudkan impian. Bagaimana seseorang mampu mewujudkan impian adalah bagaimana ia mampu merawat mimpinya. Sekarang, apa yang ada dibenakmu ketika mendengar kata “merawat”? Jika menurut KBBI, merawat berarti memelihara, menjaga, mengurus dan membela. Merawat impian berarti memelihara, menjaga, mengurus, dan membela impian.

 

“Hanya desain-desain kecil yang saya buat, tapi saya wujudkan dengan konstan dan istiqomah” (Dahlan Iskan)

 

Berbicara mengenai belajar merawat mimpi berarti berbicara mengenai bagaimana menjaga mimpi kita, bagaimana membuat semangat kita konstan, dan bagaimana langkah kita bisa istiqomah. Karena masa depan adalah milik mereka yang percaya pada indahnya mimpi-mimpi mereka (Eleanor Roosevelt). Tidak ada yang tidak mungkin, yang ada adalah yang tidak mau. Dan kegagalan terbesar adalah apabila kita tidak pernah mencoba (Robyn Allan). Sekali lagi, mencoba bermimpi dan mencoba belajar merawat mimpi. Orang yang memiliki impian, bukan sekedar keinginan, berarti secara tidak langsung perlahan ia mengubah pola pikirnya. Pola pikir yang seperti apa? Pola pikir bagaimana menjadi pemenang, tidak dengan mudahnya mengikuti nafsu untuk bermalas-malasan. Dan hanya orang yang mampu memimpin dirinya lah, yang bisa merawat mimpinya. So, if we want to keep our dreams exist and become to be true, be a good leader at least for ourselves

 

Seorang yang sedang belajar merawat bermimpi

Ada seorang pemimpi, saat ini ia masih menjadi mahasiswa biasa tingkat akhir di Universitas Indonesia. Ia berasal dari keluarga sederhana, di desa kecil wilayah Cirebon Jawa Barat. Ayahnya seorang guru Agama SMP. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu semangat untuk membantu suamiya mencari nafkah, pernah menjadi penjahit, membuka warung nasi, menjadi pedagang warung sembako, dll. Apapun pasangan orang tua super ini lakukan agar anak-anaknya tidak putus sekolah.

Ketika masih duduk di sekolah dasar, ia sama sekali belum mengerti pentingnya memiliki impian, ketika ditanya cita-citanya pun ia tidak tau mau menjawab apa. Yang ia lakukan hanyalah bagaimana caranya membuat orang orang tuanya tersenyum padanya setiap kali ia pulang sekolah, hanya itu. ia menjadi ketua kelas dan juara kelas setiap tahun, menjuarai lomba kaligrafi, lomba sinopsis, lomba cerdas cermat, dan lain-lain, sekali lagi hanya untuk melihat orang tuanya tersenyum bangga dan membelikan hadiah kecil untuknya. Sampai ia masuk sekolah menengah pertama (SMP) favorit dengan hasil Ujian Nasional SD dan ujian masuk SMP tertinggi di kecamatannya. Ia masuk ke kelas unggulan,  menjadi ketua organisasi PASKIBRA dan sekretaris umum OSIS di SMPnya. Ia mengikuti olimpiade keilmiahan dan saat kelulusan sekolah ia termasuk sepuluh besar siswa dengan prestasi terbaik. Lagi-lagi, hanya ingin melihat orang tuanya tersenyum bangga dan ia belum memiliki impian apapun.

Di mozaik kehidupannya yang lain, ia merasa tidak suka dengan perilaku teman-temannya karena mereka berkelompok-kelompok alias geng. Ia didekati teman-temannya jika ingin bertanya atau meminta jawaban tugas sekolah, atau jika mereka memiliki ‘kepentingan’ terhadapnya.  Kemudian, setelah urusannya selesai mereka kembali ke geng-nya. Ia merasa kalau itu bukan pertemanan yang tulus. Ia tidak suka berkelompok-kelompok. Ia suka independen. Pada saat itu, ia sadar dirinya bukan orang yang supel, bukan orang yang cukup berani menyampaikan pendapatnya, bukan orang yang bisa dengan mudahnya mendapat teman. Ia bermimpi suatu saat ia mampu ‘berbicara’, bisa ‘berfungsi’ untuk orang sekitarnya dengan independen, menjadi dirinya sendiri tanpa harus terikat pada geng manapun.

Goresan tinta hidupnya berlanjut saat ia masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia diterima di salah satu SMA favorit di Kota Cirebon, tetapi ia cukup minder karena ia berasal dari kampung, sedangkan teman-teman barunya dari Kota. Perjalanan yang harus ia tempuh pulang pergi adalah selama 2 jam setiap hari. Lagi dan lagi, semangat belajarnya yang tinggi adalah untuk melihat orang tuanya tersenyum bangga padanya. Ia memang masuk ke kelas internasional, sampai saat ini ia pun masih menganggap hal itu keajaiban karena ia bisa diterima dengan segala keterbatasan berbahasa Inggrisnya. Sedangkan, teman-teman sekelasnya sudah pandai sekali berbahasa Inggris. Ia sempat frustasi karena setiap hari harus berbahasa Inggris dan soal-soal ujian pun berbahasa Inggris. Tetapi, ia sadar dirinya harus berubah.

Ketika ia akan lulus SMA, ia merenung ‘apakah ia perlu kuliah?’ bagaimana biayanya? Dimana? Jurusannya?” di desa nya masih jarang sekali pemuda yang ingin kuliah. Banyak teman-teman sekolahnya setelah lulus SD kemudian menikah, mempunyai anak, berdagang di pasar, dan pasrah dengan keadaannya. Ia tidak mau seperti itu, sampai suatu ketika Tuhan memberinya petunjuk dengan surat cinta dari kekasihNya Muhammad:

 

“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”

 

Dan kemudian ia bertekad, ingin menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Logikanya, jika ingin bermanfaat berarti harus ada yang bisa ia berikan, dan jika ia ingin banyak berbagi berarti harus ada banyak hal yang ia miliki. Jika ingin memiliki banyak hal, ia harus lebih keras berupaya agar mendapat sesuatu yang ingin ia capai. Setelah melewati proses perenungan yang panjang, apa yang harus ia lakukan tidak hanya harus berguna bagi orang lain, tetapi juga bagi anak-anak dan keluarga yang akan ia rintis kelak. Singkat cerita, akhirnya ia menetapkan ingin menjadi perawat, terutama perawat anak. Apapun orang lain katakan tentang perawat, ia tetap ingin menjadi perawat. Ya, menjadi perawat yang terbaik, perawat yang profesional, perawat yang menulis, perawat yang berprestasi, perawat yang go international, dan perawat yang paling bermanfaat.

Kemudian, ia berpikir lagi, “berarti jika ingin menjadi perawat terbaik, caranya adalah berinteraksi dengan perawat-perawat terbaik, bergaul dengan orang-orang terbaik dan menuntut ilmu ditempat terbaik. Ia menemukan di kota-kota besar lah terdapat universitas-universitas terbaik. Akhirnya ia memutuskan untuk merantau walaupun sulit rasanya karena mayoritas pemuda seusianya ketika itu pasrah dengan keadaan ekonominya. Tapi ia masih meyakini kalau  “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.” Ia mencoba mengikuti ujian masuk di empat universitas terbaik dengan selalu memilih ilmu keperawatan sebagai pilihan pertama. Ia pun bekerja keras belajar dan berdoa, agar diterima di salah satu universitas yang ia pilih. Sampai pada akhirnya ia diterima di keempat universitas tersebut dan ia memilih Universitas Indonesia dengan berbagai pertimbangan. Okay, she has a great chance to catch her dream!

Saat ia menjadi mahasiswa baru UI, banyak pertanyaan yang harus ia jawab. Mulai dari “bagaimana cara membayar biaya kuliahnya? bagaimana ia bisa berinteraksi dan bergaul dengan orang banyak di sana? bagaimana ia sebagai satu-satunya anak dari kampungnya saat itu, yang mencoba kuliah di Kota, bisa survive di sana? Bagaimana nanti ia akan selalu belajar dari textbooks berbahasa inggris? bagaimana caranya ia bisa menjadi perawat yang terbaik dan perawat paling bermanfaat? bagaimana ia tetap membuat orang tuanya tersenyum bangga padanya? dan bagaimana caranya ia bisa mengubah nasibnya?”

Ia lalu membuat dream book-nya dengan berbekal imajinasi bagaimana ia beberapa tahun mendatang. Ia mulai mengukir visi hidupnya, menjadi apa, dimana, dan kapan. Selanjutnya, ia me-list keterbatasan-keterbatasan yang ia miliki. Ia belum bisa berbahasa inggris dengan baik padahal ia ingin menjadi perawat yang go internasional. Ia belum tau apakah setiap semester ia dapat membayar uang kuliah padahal ia menyadari cost yang harus dikeluarkan akan sangat banyak. Ia belum bisa berkomunikasi dan bergaul dengan baik padahal ia ingin menjadi perawat yang pandai berinteraksi dan paling bermanfaat. Ia pun belum mengerti bagaimana caranya memimpin dan meyakinkan calon pasiennya kalau ia adalah perawat profesional.

Dari keterbatasan itu, ia mulai menyusun misi hidupnya satu persatu. Ia harus mendapatkan beasiswa untuk membantu membiayai kuliah. Untuk mendapat beasiswa, berarti ia harus memiliki prestasi yang baik. Ia menargetkan IPK selalu cumlaude dan bisa menjadi mahasiswa berprestasi. Untuk bisa bergaul dengan banyak orang, ia harus bisa meng-upgrade jiwa kepemimpinannya dan menjadi leader yang baik minimal untuk diri sendiri. Untuk bisa berbahasa Internasional dengan baik, ia ingin belajar dari native-nya dengan cara mengikuti beasiswa kuliah di luar negeri misalnya, dll. Ia bertekad untuk memulai prestasi-prestasi kecil untuk mendapat yang besar. Karena ia ingat pepatah Cina kuno mengatakan biar bagaimanapun perjalanan sejauh 1000 mil dimulai dengan 1 langkah.

Ia berusaha melakukan apa yang ia targetkan untuk menggapai impiannya. Untuk merawat mimpinya, ia butuh untuk bisa memimpin dirinya. Untuk menjadi pemimpin yang baik, maka ia harus bertemu para pemimpin yang baik. Ia belajar berkomunikasi dan kepemimpinan disuatu organisasi, ia mengikuti berbagai leadership training termasuk UILDP. Di sana ia bertemu dengan orang-orang hebat dan belajar banyak hal termasuk bagaimana menjadi leader yang berkualitas. Ia belajar untuk selalu bersemangat dengan melihat, mendengar, dan membaca shirah nabawiyah, shirah shohabiyah, dan biografi tokoh-tokoh hebat yang menginspirasi hidupnya.  Selain itu, ia menekadkan dirinya untuk menjadi scholarship seeker. Ia tidak mau melewatkan setiap peluang beasiswa yang ada, sampai-sampai mungkin pihak kemahasiswaan merasa bosan melihatnya karena sering sekali menemuinya untuk mengurus berkas-berkas. ia beryukur meski sering kali gagal, masih ada beasiswa yang ia dapatkan untuk membantunya membiayai kuliah. Ia bersyukur masih bisa menjadi finalis mahasiswa berprestasi dengan karya tulis dan presentasi terbaik, walau ia tidak menjadi mapres utama. Ia bersyukur bisa belajar mematahkan rasa malu untuk berbahasa inggris di depan banyak orang ketika mengikuti kompetisi putra-putri keperawatan, walau ia gagal pada akhirnya. 

Selain itu, ia juga mencoba apply berbagai beasiswa yang bisa membuka peluangnya belajar berinteraksi dengan jaringan yang lebih luas, seperti PPSDMS, Goodwill, Tanoto, Indonesian English Language Study Program (ILSP) oleh IIEF, Temasek Foundation (TF LEaRN) National university of Singapore, dan program-program lain yang tidak bisa ia sebutkan. Apakah ia berhasil? Tidak sama sekali. Ia gagal dan gagal lagi. Namun, selama proses itu, ia belajar banyak hal dan ia merasakan ada perubahan dalam dirinya. Ia sempat hampir putus asa, tetapi ia sadar, putus asa sama dengan tidak akan pernah meraih mimpinya menjadi perawat yang paling bermanfaat. Sampai saat ini pun ia tidak tau akan seperti apa masa depannya. Ia tidak tau pasti apakah ia bisa menjadi perawat yang terbaik, perawat yang profesional, perawat yang berprestasi, perawat yang go international, dan perawat yang paling bermanfaat. Yang ia yakini bahwa tugasnya sebagai manusia hanyalah bersyukur dan bersabar. Ia hanya terus belajar bagaimana memimpin dirinya untuk tetap teguh menatap visinya. Ia hanya terus belajar bagaimana merawat mimpinya. Dan ia adalah orang yang saat ini tulisannya sedang kau baca.

 

Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun…

 

Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih…

 

Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar. (A.Fuadi)

 

 

 

Syarifah Lubbna

Fakultas Ilmu Keperawatan, UI

2009

 

Belajar Merawat Mimpi – 1

Mimpi adalah kunci ..

Untuk kita menaklukan dunia …

Berlari lah tanpa lelah …

Sampai engkau meraihnya.

 

Sepintas bait tersebut mungkin hanyalah sebatas nyanyian pengiring para laskar pelangi ketika memainkan perannya. Tetapi bagi yang percaya, mimpi memang benar-benar sebuah kunci untuk menaklukan dunia.

 

Impian

Sahabat, ingatkah ketika kita masih kanak-kanak, kita pernah ditanya “mau jadi apa nanti kalau sudah besar?” Mayoritas kita dengan mantapnya menjawab ingin jadi dokter, polisi, presiden, dll.  Sesederhana itu kita menyebutkan cita-cita kita. Memang fitrahnya anak-anak memiliki masa ‘meniru’ siapa yang ia lihat. Jika kita melihat spiderman adalah sosok heroik, menyelamatkan banyak orang dan terkesan hebat, maka kita akan mengatakan “Aku mau jadi spiderman!” tetapi ketika itu, cita-cita hanya sebatas keinginan, dan belum terpikirkan upaya apa yang akan kita lakukan untuk mencapai cita-cita itu.

Berbeda ketika saat ini kita ditanya, “ingin jadi apa?” akan ada proses berpikir terlebih dahulu sebelum kita menjawab. Dan yang kita pertimbangkan adalah “apakah yang kita inginkan itu realistis?”, “apakah mampu kita capai?” dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Tidak mungkin kita mengatakan “Aku ingin jadi spiderman!” karena itu memang sesuatu yang tidak nyata dan tidak realistis. Jika kita bilang impian saya adalah menjadi seorang pengusaha sukses, disadari atau tidak, sebenarnya kita sudah memikirkan apa alasan kita, apakah mungkin, bagaimana caranya, apa harapannya, dan untuk apa kita menjadi pengusaha sukses. Itulah impian!.

Bagaimana kita memaknai kata “impian”? setiap orang berhak mendefinisikan kata tersebut sesuai persepsi masing-masing meskipun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  definisi impian sangat sederhana, yaitu barang yang diimpikan atau barang yang sangat diinginkan. Tetapi, saya sendiri lebih suka mengganti kata ‘barang’ menjadi ‘sesuatu’. Sesuatu itu bisa dalam bentuk materi atau non-materi. Impian adalah sumber harapan yang akan membangkitkan motivasi dan menggerakkan seseorang menjadi besar dan sukses (Ridwan, 2012). Yang perlu digarisbawahi disini adalah “memiliki impian yang kuat akan memberikan motivasi dan kerja keras lebih besar untuk mewujudkan impian tersebut apapun rintangannya.”

Pertanyaannya adalah “apakah kita punya impian?” that’s the simplest question. Setiap kita berhak menggoreskan tinta sejarah pada kanvas kehidupan, karena pada dasarnya bermimpi itu gratis, bukan? Kita bisa saja mempunyai mimpi setinggi langit, tetapi kita harus memulainya dengan mimpi-mimpi yang membumi. Tugas kita di dunia ini sebenarnya bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam proses mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil (Mario Teguh). Ya, mencoba bermimpi dan mencoba merawat mimpi itu!

 

Pemimpi

Coba perhatikan, sadarkah kita kalau para tokoh pengubah dunia pada awalnya adalah seorang pemimpi? Steve Jobs misalnya. Pendiri Apple Computers dan Pixar Animation Studio ini adalah seorang anak yang diserahkan ke lembaga adopsi anak karena ibunya masih kuliah. Kemudian ia diadopsi oleh keluarga kelas menengah dengan ayah yang tidak pernah lulus SMA dan ibu yang tidak lulus kuliah. Bagaimana ia yang memiliki latar belakang biasa-biasa ini menjadi seorang millionaire pada usia muda? Itu karena ia memiliki impian besar yang memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Visinya adalah computer for the rest of us. Steve Jobs memiliki impian komputer yang mulanya barang mahal dan langka, yang ukurannya sangat besar, dapat dikecilkan menjadi kebutuhan semua orang, dan dapat membantu orang banyak dalam mengoptimalkan pekerjaan sehari-hari. Oleh karena itu, ia selalu optimal untuk mencapai impiannya, dengan kemauan yang kuat walaupun caranya sederhana.

Jika kita tilik, ketika ia masih di kelas 2 SMP, Steve Jobs (13 tahun) dan teman-teman satu kelompoknya mendapatkan tugas untuk membuat rangkaian elektronika. Salah satu temannya berkata “kita membutuhkan chip untuk membuat rangkaian ini. Chip ini hanya bisa ditemukan di pabrik HP (Hewlett Packard).” Keesokan harinya Steve Jobs datang ke sekolah dengan membawa chip yang mereka butuhkan. Sontak teman-teman satu kelompoknya kaget dan salah satu bertanya “Dari mana kamu dapatkan chip ini?” Jobs menjawab “Saya telepon Bill Hewlett dan saya minta kepadanya”. Temannya bertanya lagi “Dari mana kamu tahu nomor telpon Mr. Hewlett?”. Dengan ringan Jobs menjawab “Ada di yellow pages”. Sore itu Steve Jobs menelpon rumah Bill Hewlett, pendiri Hewlett Packard bersama David Packard. Jobs dan Hewlett berbicara selama 20 menit dan Jobs tidak hanya mendapatkan chip yang mereka butuhkan, tapi Jobs juga mendapatkan summer job di pabrik HP. Ini adalah awal hubungan akrab antara Steve Jobs dengan Bill Hewlett dan David Packard. Cara yang ia lakukan  merupakan cara yang cukup sederhana. Simple method, simple approach. Dengan ini Jobs muda membuktikan bahwa kita dapat menembus batas jika kita mau. Kita dapat berhubungan dengan orang yang kita kira unapproachable. Hanya dengan membuka yellow pages dan meneleponnya.

Pada lembaran kisah Steve Jobs lainnya, ia juga tetap memiliki kemauan yang kuat untuk menggapai impiannya untuk sukses dan berguna untuk banyak, walaupun banyak keterbatasan yang ia miliki. Pada saat Steve Jobs berumur 17 tahun, ia mendatangi kantor Atari untuk mendapat pekerjaan. Atari adalah sebuah perusahaan produsen game console kala itu. Walau ia diusir satpam, ia memilih untuk menunggu hingga sore hari. Satpam pun menyerah dan ia diizinkan bertemu CEOnya, Nolan Bushnell. Ia berkata ia mau bekerja, walaupun ia tidak bisa apa-apa. Kata kuncinya adalah mau. Bushnell merespon “Ok, kalau begitu kamu jadi asisten saya saja”. Mulai saat itu Jobs menemani Bushnell ke mana setiap pertemuan-pertemuan penting dan menjadi sangat intim dengannya. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, Steve Jobs yang selalu menjaga mimpinya, mendalami bidang hardware dari Bill Hewlet dan David Packard, dan mendalami bidang software dari Nolan Bushnell. Alhasil, dengan kegigihannya, kerja keras dan kerja cerdasnya, sampai saat ini ia mampu membuat market capitalization Apple menjadi lebih besar dari pada Microsoft.

Banyak sekali para pemimpi disekeliling kita, mungkin kita lah yang kurang menyadari. Contoh lain, bagaimana seorang Ahmad Fuadi, sang pemuda desa dari Minang mampu menjadi penulis terkenal yang menjelajahi dunia? Bagaimana ia menembus Ujian masuk HI UNPAD padahal ia menuntut ilmu di Pesantren? Bagaimana ia bisa mendapat beasiswa ke Kanada, dll dengan bermodalkan tulisan-tulisan yang dimuat di koran tanpa ia bisa menampilkan kesenian tradisional di depan Interviewer? Atau jika kita lihat Dahlan Iskan, bagaimana seorang anak kampung yang sehari-hari menggembala kambing dan tak punya alas kaki mampu menjadi Menteri BUMN? Bagaimana seorang Dahlan Iskan yang biasa melilitkan dan mengikat sarungnya diperut dengan kencang untuk mengurangi rasa lapar, mampu menjadi pemimpin yang sederhana namun memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa? Itu karena mereka merawat mimpi-mimpinya!  

Social Entrepreneurship: Ruang Pemuda Memandirikan Bangsa

Kemandirian merupakan perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam konteks kebangsaan, bangsa yang mandiri artinya bangsa yang mampu berdiri di atas kekuatan sendiri dengan segala sumber daya yang dimiliki, mampu memecahkan persoalan yang dihadapi dan mampu mengembangkan inovasi dan riset di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya memiliki keunggulan dan daya saing (Barnadib, 2008). Membangun kemandirian bangsa berarti memahami proses kemandirian sebagai suatu usaha membangun bangsa yang mampu menyelesaikan setiap masalah dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat (Hary, 2008).

Faktanya, Indonesia belum menjadi negara yang mandiri karena masih belum memenuhi indikator bangsa yang mandiri, terutama di bidang ekonomi. Indikator tersebut berupa indikator pangan, energi, keuangan, infrastruktur, dan harkat martabat. Dari segi pangan, Indonesia belum mencapai swasembada pangan sehingga kebutuhannya harus dipenuhi dengan melakukan impor dari Negara lain. Di bidang energi, kekayaan alam yang banyak terkandung di bumi ini justru dikuasai oleh asing. Di bidang keuangan, nilai tukar rupiah bergantung pada nilai uang negara asing. Demikian pula dengan bidang infrastruktur, sehingga hal ini menjadikan harkat martabat Indonesia merosot di hadapan  dunia internasional (Gusman, 2012).  

Jika Indonesia masih ingin menjadi negara yang mandiri terutama di bidang ekonomi, penyelesaiakan masalah harus dilakukan bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh semua elemen masyarakat. Memang sistem globalisasi yang terjadi saat ini tidak bisa terlepas dari kapitalisme yang hanya memberikan kemakmuran pada segelintir orang. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menumbuhkan kembali semangat ekonomi kerakyatan yang dahulu pernah dilakukan. Semangat ekonomi kerakyatan adalah sistem yang baik karena sistem ini dilandasi pada distribusi keadilan baru kemudian kemakmuran, bukan sebaliknya. Distribusi sumber-sumber ekonomi yang merata akan menciptakan pendapatan yang merata pula sehingga akan tercipta kemakmuran.

Sebagian besar jumlah penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern, sehingga mayoritas pelaku ekonomi di Indonesia adalah Usaha Kecil dan Menengah (Rosid, 2011). Pada Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998, pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan yang tidak sehat. Saat ini nampaknya usaha pemerintah pada UKM dan rakyat kecil sudah terlihat pada program-program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Bank-bank juga sudah ada yang mengucurkan kredit tanpa agunan. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) berupaya memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan salah satu caranya berupa menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat. Pemerintah telah menurunkan suku bunga KUR Mikro dari 24% efektif pertahun menjadi 22%, sedangkan suku bunga KUR Rhel dari 14% efektif per tahun menjadi 13% (Kementerian Koperasi dan UKM, 2012).

Untuk mempercepat peningkatan kemandirian masyarakat terutama di bidang ekonomi, pemerintah perlu bersinergi dan bekerjasama dengan elemen masyarakat, dalam hal ini terutama pemuda karena seperti yang diketahui bersama bahwa pemuda adalah agen perubahan bangsa dan generasi penerus. Oleh karena itu, penting pula pemerintah lebih bermitra dengan pemuda. Tetapi, selain pemerintah perlu bersinergi dan lebih melibatkan pemuda, dari dalam diri pemuda sendiri perlu lebih peka terhadap permasalahan masyarakat juga berinisiatif dan berinovasi dalam memberdayakan masyarakat.

Saat ini bidang pemberdayaan masyarakat yang sudah mulai diminati pengusaha muda   adalah program kewirausahaan sosial (sosial entrepreneurship). Social entrepreneur adalah orang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship  untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi bidang kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (Santoso, 2007). Menurut Gregory Dees (2009) kewirausaan sosial merupakan kombinasi dari semangat besar dan misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan keteguhan seperti yang ada dalam dunia bisnis. Kewirausahaan sosial meliputi aktifitas yang tidak bertujuan mencari laba, kalaupun mencari laba maka laba yang diberoleh adalah tetap untuk tujuan sosial, atau kombinasi diantara keduanya. Contoh kewirausahaan sosial yang menginspirasi para pemuda salah satunya adalah program yang digagas oleh Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank yang memberikan kredit usaha mikro khusus bagi kaum perempuan di Bangladesh. selain itu, kewirausahaan sosial berkembang pesat pula di Inggris saat ini. Kewirausahaan sosial tersebut telah melibatkan 650.000 orang dan 89 % berbasis di perkotaan. Kegiatan bisnis yang dilakukan mengambil porsi 5 % di tingkat nasional. Telah dilakukan sekitar 170.000 kegiatan amal antara lain baik melalui dukungan pemerintah dan sektor wisata. Contohnya Kibble Centre yang pada awalnya adalah murni gerakan sosial, tetapi sejak 1996 mereka memutuskan menjadi wirausaha sosial.

Di Indonesia sendiri, kewirausahaan sosial lebih banyak digerakan oleh komunitas ataupun perkumpulan masyarakat yang bersama-sama membentuk unit usaha untuk memperbaiki kondisi sosial ataupun lingkungan sekitarnya. Kewirausahaan sosial di Indonesia mempunyai banyak peluang untuk berkembang sehingga upaya untuk mewujudkan hal tersebut pun harus terus dilakukan. Mengacu pada karakteristik kewirausahaan sosial di Indonesia yang banyak dimotori oleh komunitas, wirausaha sosial melihat masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Dengan permasalahan sosial nan kompleks di negara kita ini, seperti kemiskinan dan pengangguran, lahirnya para wirausaha sosial diharapkan menjadi agen perubahan yang ikut memberikan kontribusi solusi. Perekonomian negara akan bergerak dinamis jika minimal 2 % dari total penduduk, khususnya kalangan pemuda menjadi wirausaha. Jika jumlah penduduk kita asumsikan pada kisaran 250 juta, semestinya tumbuh 5 juta wirausaha muda (Hary, 2011). Kenyataannya saat ini baru ada sekitar 400.000 wirausaha muda atau dengan kata lain hanya 0,16 % dari jumlah penduduk. Oleh karena itu, perlu strategi lebih matang jika wacana kewirausahaan sosial sebagai solusi meningkatkan kemandirian bangsa ingin terus dikembangkan.

Jika kewirausahaan murni mengukur keberhasilan dari kinerja keuangannya, yaitu keuntungan dan pendapatan, maka kewirausahaan sosial keberhasilannya diukur dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Sosial entrepreneur sesungguhnya adalah agen perubahan yang mampu untuk melaksanakan cita-cita mengubah dan memperbaiki nilai-nilai sosial, mengenali berbagai peluang untuk melakukan perbaikan, selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, dan pembelajaran yang terus menerus, bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya, dan memiliki akuntabilitas dalam mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya kepada masyarakat. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran makna kewirausahaan sosial yang semula dianggap hanya kegiatan “non-profit” menjadi kegiatan yang berorientasi bisnis. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia bisnis untuk ikut serta dalam kegiatan kewirausahaan sosial karena ternyata dapat menghasilkan keuntungan finansial. Social etrepreneurship makin berperan dalam pembangunan ekonomi karena ternyata mampu memberikan daya cipta nilai-nilai sosial maupun ekonomi, antara lain menciptakan kesempatan kerja, melakukan inovasi dan kreasi baru terhadap produksi barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, menjadi modal sosial, dan peningkatan kesetaraan.

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah terwujudnya kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan melalui social entrepreneurship lah tujuan tersebut akan dapat diwujudkan karena para pelaku bisnis yang semula hanya memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Berbagai inovasi terhadap jasa kemasyarakatan yang selama ini tidak tertangani oleh pemerintah dapat dilakukan oleh kelompok kewirausahaan sosial. Meskipun kewirausahaan sosial ini bukan satu-satunya solusi untuk meningkatkan kemandirian perekonomian bangsa, namun perlu bahkan harus ada keberanian untuk memulai membentuk perubahan melalui upaya tersebut.

Kembali ke peran pemuda dalam memandirikan bangsa, keterlibatan pemuda misalnya para pengusaha muda dalam kegiatan kewirausahaan sosial ini adalah solusi segar dalam memberdayakan dan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Pengusaha pengusaha muda harus dilahirkan dan dilahirkan secara berkelanjutan agar terjadi pula regenerasi pengusaha di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah setiap pemuda Indonesia siap dan mampu menjadi generasi yang ikut terlibat aktif dalam upaya kewirausahaan sosial ini. karena biar bagaimana pun pertumbuhan jumlah wirausahawan harus didukung oleh tingkat pengetahuan atau pendidikan yang baik. Pendidikan penting untuk memberi modal dasar bagi para wirausahawan muda ini. Salah satunya melalui jalur pendidikan lah pola pikir seseorang dapat diubah dan ditingkatkan ide dan kreativitasnya.

Peran lembaga pendidikan, misalnya perguruan tinggi dalam hal ini dapat menjadi jembatan para pemuda Indonesia untuk berkontribusi dalam upaya ini. perguruan tinggi dapat memotivasi para mahasiswanya menjadi young entrepreneur, yang merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan. Dengan meningkatnya wirausahawan dari kalangan mahasiswa atau sarjana akan mengurangi pengangguran  serta menambah jumlah lapangan pekerjaan. Karena bukan saatnya lagi pemuda mencari pekerjaan yang kondisinya saat ini sudah carut marut dan banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur.

Lalu, bagaimana dengan pemuda-pemuda Indonesia yang tidak atau belum memiliki kesempatan mengenyam pendidikan tinggi? Sampai saat ini, menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, pemuda yang telah mengenyam pendidikan khususnya di perguruan tinggi baru sekitar 27 % dari total jumlah pemuda Indonesia. Hal ini pula perlu dipertimbangkan pula bagaimana pemuda yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan ikut berkontribusi dalam membangun kemandirian masyarakat, bila perlu malah membuat lapangan pekerjaan sendiri.  Masalah ini dapat terselesaikan salah satu caranya dengan memotivasi terus pemuda Indonesia yang ‘beruntung’ untuk menularkan misi kebermanfaatan ini pada pemuda-pemuda sekitar masyarakat. Misalnya, dicanangkan pada seluruh bidang pengabdian masyarakat di organisasi intra kampus untuk membuat program pemberdayaan tidak hanya yang berorientasi sosial, tetapi mengarah pada bentuk kewirausahaan sosial, dengan sebelumnya melakukan pengkajian yang tepat mengenai sasaran komunitas masyarakat yang akan diberdayakan. Dalam hal ini, pemuda atau mahasiswa yang bukan berasal dari rumpun ekonomi pun dapat belajar banyak hal terkait kewirausahaan sosial. Dengan demikian secara tidak langsung dapat melahirkan bibit baru aktor kewirausahaan sosial.

Kemudian, komunitas yang telah menjadi sasaran program pemberdayaan tersebut dilibatkan secara aktif, disadarkan bahwa seluruh elemen masyarakat yang ada di dalamnya harus bangkit jika ingin meningkatkan kemandirian ekonomi. Dalam hal ini, penulis tidak berbicara mengenai langkah pengambilan kebijakan atau proyek-proyek besar pemerintah, tetapi yang penulis tekankan di sini adalah pemuda dapat berperan dalam kemandirian bangsa melalui kegiatan yang langsung bersentuhan atau berinteraksi dengan masyarakat. Para wirausahawan muda atau mahasiswa yang terlibat dalam program ini dapat ‘membidik’ atau melibatkan secara lebih aktif pemuda-pemuda dalam komunitas tersebut untuk menjadi aktor penggerak atau tim inti dari program kewirausahaan sosial ini. Dengan demikian, meskipun mereka tidak secara formal memahami kewirausahaan sosial, pemuda-pemuda dalam komunitas tersebut bisa ikut berkontribusi untuk meningkatkan kemandirian masyarakat/ komunitasnya dengan keterlibatannya yang aktif dalam program social entrepreneurship.

 

Syarifah Lubbna, FIK UI 2009

@Asrama Aceh, 23 Oktober 2012

 

 

 

Optimalisasi (kan) Peran Perawat Komunitas dalam Upaya Promosi Kesehatan

Perawat sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan primer memegang peranan penting dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah “paradigma sakit” menjadi “paradigma sehat”. Perawat, terutama perawat komunitas, dituntut mampu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan melalui perannya sebagai edukator terhadap masyarakat, baik secara tatap muka langsung dan tanpa tatap muka (Muharyani, 2011).

Layanan keperawatan komunitas berfokus pada level prevensi  primer (memperkuat garis pertahanan dengan menekan faktor resiko dan mencegah stres), sekunder (dimulai setelah timbul tanda dan gejala, untuk memperkuat garis pertahanan normal melalui tujuan dan intervensi relevan), dan tersier (dilakukan setelah terapi untuk mencegah penyulit lebih lanjut). Sedangkan, struktur hubungan perawat komunitas dengan masyarakat adalah membantu yang sehat untuk memelihara kesehatannya, yang sakit untuk memperoleh kembali kesehatannya, yang tak bisa disembuhkan untuk menyadari potensinya, dan yang akan menghadapi ajal untuk diperlakukan secara manusiawi (Depkes, 2007).

Menurut Blum (2012), status kesehatan masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain faktor keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan, dengan perilaku adalah faktor utama yang berperan. Oleh karena itu, jika status kesehatan masyarakat ingin ditingkatkan maka faktor perilaku terlebih dahululah yang harus diubah sedemikian rupa. Salah satu cara efektif untuk mengubah perilaku masyarakat adalah dengan promosi kesehatan (Allender, 2010).

Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat mandiri menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes, 2007). Namun hingga saat ini promosi kesehatan di Indonesia belum dilakukan dengan optimal. Masih banyak masyarakat yang tidak sadar kesehatan. Mencegah lebih baik daripada mengobati juga masih sebatas semboyan dan belum bisa menjadi sebuah landasan kesadaran di masyarakat. Menurut Yani (2011), ada beberapa hal yang menghambat maksimalisasi promosi kesehatan. Pertama, tenaga kesehatan yang melakukan promosi kesehatan masih terbatas terutama di daerah-daerah terpencil sehingga masih banyak masyarakat yang tidak tersentuh oleh promosi kesehatan. Kedua, masyarakat Indonesia masih banyak yang percaya pada mitos sehingga sering membuat masyarakat sulit menerima pendidikan kesehatan yang diberikan.

Peran pemberi pelayanan kesehatan komunitas, terutama perawat perlu dioptimalkan dalam memberikan promosi kesehatan. Caranya adalah dengan memanfaatkan/ mengaktifkan kembali peran-peran Puskesmas sebagai pusat pelayanan masyarakat untuk mencapai visi pembangunan kesehatan Indonesia tahun 2025, yaitu penduduk Indonesia hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata dan memiliki derajat kesehatan yang tinggi (Depkes, 2007). Meskipun saat ini Puskesmas kurang berhasil menumbuhkan inisiatif masyarakat dalam pemecahan masalah dan belum mampu mendorong kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan (Depkes, 2007), optimalisasi peran perawat komunitas melalui Puskesmas sebagai wadah strategis untuk membentuk ‘paradigma sehat’ masyarakat merupakan salah satu solusi terbaik karena langsung turun menyentuh masyarakat. Mengembalikan peran Puskesmas yang tidak hanya sebagai wadah upaya kuratif, tetapi juga sebagai pusat pemberdayaan dan komunikasi masyarakat terutama terkait kesehatan perlu dilakukan. Selain itu, Panduan Integrasi Promosi Kesehatan (PIPK) yang disusun oleh Departemen Kesehatan juga perlu dijadikan pedoman dalam melakukan promosi kesehatan.

 

Syarifah Lubbna

FIK UI 2009

Ketua Keputrian FPPI FIK UI

@Asrama Aceh, 15 Oktober 2012

Tawuran: Akibat Sistem Masyarakat yang “Memakan” Anak-anaknya

Your beliefs become your thoughts…

Your thoughts become your words…

Your words become your habits…

Your habits become your values…

Your values become your destiny. (Mahatma Gandhi)

 

Kata bijak seorang Mahatma Gandhi di atas memang benar adanya, disadari atau tidak sering kali apa yang kita pikirkan akan menentukan apa yang akan kita lakukan. Hal ini sebenarnya terjadi pula pada remaja-remaja Indonesia yang memiliki jalan tawuran dalam penyelesaian masalahnya dibandingkan jalan-jalan penyelesaian yang lebih positif. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, telah terjadi 128 kasus tawuran pada tahun 2010, disusul terjadinya 339 kasus dengan 82 korban tewas pada tahun 2011, dan di wilayah jabodetabek sampai September 2012 tecatat 103 kasus tawuran dengan 48 luka ringan, 39 luka berat, dan 17 siswa meninggal. Maraknya kasus tawuran yang cenderung meningkat tiap tahunnya merupakan fenomena gunung es yang tak kunjung terselesaikan, dan semua secara tidak langsung berawal dari rendahnya kualitas pola pikir.

Mungkin bisa dikatakan wajar kalau kalangan yang ‘tertarik’ dengan tawuran adalah kalangan remaja. Hal ini dikarenakan memang fitrahnya tugas pertumbuhan dan perkembangan anak usia remaja adalah mencari jati diri, lebih tertarik pada kelompok (cenderung mencari gank), menyesuaikan diri dengan standar kelompok, stres meningkat terutama saat terjadi konflik, dan takut ditolak oleh teman sebaya (Wong, 2001). Selain itu, teori perkembangan psikososial menyatakan bahwa tahap usia remaja termasuk ke dalam tahap “Identity vs identify confusion” dimana remaja dihadapkan dengan pencarian jati diri, dan merasakan identitasnya sendiri bahwa ia adalah individu yang unik. Ia mencari teladan (role model) yang bisa dicontoh agar bisa menyesuaikan perannya ketika menjadi dewasa. Oleh karena itu, dapat dikatakan fase remaja ini sangat labil, karena terjadi peralihan dari anak-anak menjadi dewasa (Ericson, 1989).

Faktanya, remaja saat ini hampir setiap hari terpapar dengan banyaknya pemberitaan kasus korupsi, kekerasan, sinetron-sinetron yang memperlihatkan ‘orang baik itu lemah, dan orang jahat itu kuat’, pengalaman perpeloncoan murid baru oleh senior, dan lain-lain. Sehingga, remaja mengalami krisis keteladanan dari sistem masyarakat. Remaja yang notabene sedang mencari role model akan terkontaminasi dengan paparan buruk tersebut. Selain itu, minimnya durasi pembelajaran pendidikan moral keagamaan di sekolah, yang hanya 2×45 menit dalam seminggu juga berkontribusi di sini. Ironisnya, pendidikan moral dan agama mendapat tempat yang tidak proporsional dan terlampau sedikit, hanya formalitas tanpa mengarah ke pembentukan karakter, sehingga penanaman pendidikan karakter remaja di sekolah sangat lemah. Padahal karakter calon generasi masa depan harusnya dipupuk sejak dini.

Selain faktor pemicu di atas, adapun faktor pencetus tawuran remaja adalah ketersinggungan salah satu anggota gank yang memicu rasa kesetiakawanan yang berlebihan, permasalahan/ permusuhan yang memang sudah mengakar antara dua pihak atau lebih, dan adanya jiwa premanisme yang dimiliki remaja akibat krisis teladan di lingkungannya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan karater seorang pelajar yang seharusnya mengedepankan kecerdasan berpikir dan pengelolaan emosi. Kondisi ini juga membuat individu malas untuk menyelesaikan masalahnya sendiri karena terlena dengan kekuatan kelompok. Oleh karena itu, mungkin sudah terlambat jika kita saling menyalahkan satu sama lain siapa yang bersalah atas maraknya fenomena tawuran saat ini, karena tidak ada kesalahan tunggal. Semua peran ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan fenomena ini, tidak hanya pemerintah, kementerian pendidikan dan kebudayaan, dan kemenpora tetapi juga pihak sekolah, guru, orang tua, bahkan sistem masyarakat pun perlu berkomitmen dan ambil bagian.

Masalah utama yang dikemukakan sebelumnya adalah masih rendahnya kualitas berpikir akibat paparan-paparan kurang baik pada remaja yang seharusnya tidak terjadi. Sehingga kualitas berpikir yang rendah mengakibatkan action yang tidak berkualitas pula, seperti maraknya tawuran saat ini. Apalagi penyelesaian masalah saat ini tidak dilakukan dengan gentle dan tangan kosong tetapi telah memakai alat bantu seperti clurit, batu, kayu, senjata tajam, sabuk, pisau, besi, dan alat bantu lainnya yang meresahkan masyarakat. Mengapa demikian? Karena ilmiahnya, otak manusia akan berkembang pesat pada bagian yang sering terstimulasi. Penelitian para ahli menyebutkan bahwa otak manusia terdiri dari tiga tingkatan, yaitu reptilian brain (isntinct), mammalian brain (limbic & hindsight), dan primate brain (neocortex/ foresight/ thinking brain). Pertama, reptilian brain adalah tingkatan terendah otak yang berguna untuk mengatur respon terhadap stimulus tanpa berpikir (refleks).  Kedua, mammalian brain adalah bagian otak yang terdapat pusat neuron-neuron yang mengatur dan berkaitan dengan emosi manusia, seperti cinta, kasih sayang, cemburu, cemas, takut, marah, dan lain-lain. Ketiga, thinking brain adalah tingkatan otak yang membedakan manusia dengan hewan. Tingkatan ke-3 ini berfungsi untuk mengatur berkembangnya fungsi luhur, berpikir, belajar, beradab, akal, kemampuan analisa, pendekatan logis, kreativitas, persepsi, kemampuan menyelesaiakan masalah, dan kemampuan memilah mana yang benar dan mana yang salah (Popper, 1977; Barton, 2000). Bagian otak mana yang sering terstimulus maka bagian otak itulah yang akan berkembang pesat dan banyak berperan bagi hidup manusia.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan tawuran? Jelas ada. Jika kita contohkan, banyaknya game online yang temanya tentang fighting atau kemampuan berkelahi/ perang akan hanya menstimulus atau melatih reptilian brain manusia, dimana kemampuan refleks terhadap stimulus dilatih. Kemudian, ddanya pemberitaan kasus pembunuhan, korupsi, bullying di sekolah, atau bermunculannya tayangan, film/ sinetron yang bercerita tentang percintaan dunia SMA, SMP, bahkan SD, membuat penontonnya terstimulus untuk ikut marah, menangis, dan meluapkan emosinya, hanya melatih mammalian brain dimana kemampuan emosional dilatih. Paparan seperti inilah yang menjadi makanan sehari-hari remaja Indonesia saat ini, bukan? Akibatnya wajar ketika remaja berhadapan dengan masalah, ia akan dengan mudahnya tersulut emosi, bertengkar dan berkelahi, tawuran, bahkan sampai saling membunuh karena memang baru tingkatan otak reptilian dan mammalian lah yang sering terstimulus. jika tidak segera diubah, maka pernyataan sistem masyarakat yang ‘memakan’ anak-anaknya menjadi benar adanya.

Lain halnya jika remaja setiap harinya dipaparkan dengan hal-hal yang baik, karena thinking brain akan sering terstimulus sehingga perkembangan remaja akan baik karena memiliki teladan dan paparan yang baik pula. Inilah jalan satu-satunya agar remaja Indonesia menjadi remaja yang berkualitas. Cita-cita ini akan tercapai jika sistem masyarakat dan semua pihak bekerjasama untuk memberikan paparan baik, misalnya pemerintah yang ‘membersihkan’ pejabat dan wakil rakyatnya, media masa yang lebih mengekspos prestasi Indonesia, pihak media televisi yang menyajikan tayangan- tayangan edukatif, dan orang tua serta guru yang memberi teladan baik di rumah, dan peran sekolah membuat sistem pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter, mengedepankan aktivitas positif dan memberi wadah untuk remaja menyalurkan potensinya, dan peran-peran pihak lainnya. Ayo, prestasi YES, tawuran NO!

 

Syarifah lubbna, FIK UI 2009, FPPI 2012

MUSLIM. MUDA. KARYA. PRESTASI. DEDIKASI. BERGERAK. (session 1)

“Undangan untuk muslim se-UI” SILATURAHIM AKBAR dengan tema “Muslim Berkarya dan Berdedikasi”, Sabtu 15 September 2012 @MUI . Sesi 1: (08.00-10.00) “Muda Berkarya” Taufik Ismail, Helvy Tiana Rosa, dan Topan Bayu Kusuma. Sesi 2: (10.00-12.00) “Dedikasi Prestasi dan Kontribusi”  DR. Arief Munandar, Arya Sandhiyudha, dan Shofwan Al-Banna. Sesi 3: (13.00-15.00) “Mahasiswa Terus Bergerak” Agus Taufiq, Agung Nur Wijoyo, Avina Anin Nasia, dan Andreas Senjaya.”

Ada yang bisa menebak itu apa? Yup! Pasti pada tau semua, ini adalah undangan buat semua muslim UI dari SALAM UI untuk hadir di SILATURAHIM AKBAR. Apa sih? SILAKBAR ini adalah proker tahunan SALAM UI untuk memfasilitasi kita semua sebagai mahasiswa muslim dalam menginternalisasikan jiwa-jiwa semangat muda yang luar biasa ke dalam diri kita masing-masing, agar kita bisa jadi umat yang hebat (khususnya di mata Allah). Wah, setelah membaca sms ini, semangat berkobar-kobar pada diri ini yang haus akan ilmu, dan tidak sabar ingin segera menghadiri. Ya, walaupun diutamakan untuk maba, ga apa-apa lah ya, :p . Betapa senangnya saya akan berjumpa pembicara-pembicara hebat yang siap menebar inspirasi!

Saat hari H (Ga tau H itu kepanjangannya apa.. >.< ), saya niatkan “Ya Allah, hamba berniat melangkahkan kaki ini untuk belajar, beribadah, dan mencari ridhoMu!”, langsung lah saya melesat ke MUI. Dari 08.00-15.00 saya stay cool di MUI, dengan senang hati membuka seluas luasnya ruang di otak untuk menerima ilmu. Bismillah.. efeknya langsung bisa dirasakan setelah pulang dan sampai Asrama. Apa?? Ya tulisan ini! Segera sesampainya di Asrama, tangan ini gatal untuk segera menulis. Menulis apa? Apapun asal menulis!.  Beruntung sekali saya bisa diberi kesempatan untuk hadir di acara ini. Bukan promosi SALAM, bukan yang lain. tapi, tulus, saya merasa, saya wajib menyebarkan ilmu ini, ilmu yang sebenarnya sangat sangat sangat saya dan teman-teman butuhkan sebagai mahasiswa.

Sayang sekali bagi teman-teman semua yang belum berkesempatan hadir, but anyway ga apa-apa, InshaAllah saya akan coba menuangkan catatan-catatan yang masih hangat diingatan saya ini meski hanya sedikit, ga ada salahnya untuk mencoba menjadi orang yang bermanfaat, bukan?  😀

****

Okay, let’s begin with the first session,  tema: “MUDA BERKARYA!”, setelah sang moderator memanggil nama dari ketiga pembicara, mereka keluar dari singgasana dan duduk di hadapan kami semua (sebagai peserta). Saat itu pula, saya merinding, karena orang yang saya kagumi ada dihadapan saya, yaitu Pak Taufik Ismail (seorang sastrawan legendaris yang dengan kewibawaannya, pembawaan wajahnya yang menentramkan, dan perkataannya yang sangat santun dalam bait-bait puisinya yang menggetarkan), Mbak Helvy Tiana Rosa (seorang muslimah, penulis muda, pendiri lingkar pena, yang selalu menginspirasi lewat ukiran-ukiran kata yang menginspirasi di setiap bukunya), dan Kak Topan Bayu Kusuma (Aktivis Ketua SALAM UI 2011 sekaligus enterpreneur muda, founder aplikasi Badr android). Saya tidak dapat membayangkan apa yang akan saya rasakan dan saya lakukan, bertemu orang terkenal dan menginspirasi saja sudah sangat senang, apa lagi kalau kita bertemu Rasulullah di Akhirat kelak?? Apa lagi kalau kita bertemu Allah nanti?? J Subhanallah…

Okay, di sini saya tidak akan menuliskan kronologis kejadiannya satu persatu,, tapi, mudah-mudahan inside yang kita dapat dari tulisan ini tidak mengurangi makna dan maksud yang di sampaikan sang pembicara-pembicara hebat ini.. aamiin.

 

Mbak Helvy Tiana Rosa:

Ketika ditanya tentang makna KARYA menurutnya, beliau menjawab kalau Hidup itu sejarah, dan karya kita ada, untuk mempertahankannya! Nah, awalnya gimana sih bisa menumbuhkan CINTA MENULIS? Beliau menceritakan kalau dulu, hidupnya sangat serba kekurangan (4S). Tinggal di pinggir rel kereta api, sehingga kalau sedang menjemur baju, lalu kereta api melintas, berterbanganlah baju- bajunya. Kalau sekeluarga mau makan? Itu satu telur bulat, dibagi-bagikan ke semua anggota keluarga. Ooh..  Jadi awalnya beliau menulis memang karena MEMBUTUHKAN UANG. Beliau pernah menjadi distributor buku, dan akhirnya sering membaca, lalu beliau putuskan untuk menulis agar mendapat uang. Beliau sejak SMP, SMA, sampai kuliah, membiayai pendidikan sendiri. Ya dengan menulis itu! Pernah, ketika itu beliau pertama kali mengenakan jilbab (kelas 2 SMA) beliau merasa membutuhkan bacaan lain yang beliau butuhkan, sebagai muslimah,  yang bisa membuat dirinya menjadi lebih baik, yang meninspirasi, tapi ternyata tidak beliau temukan bukunya. Beliau ingin membuat sendiri bacaan agar bisa beliau baca, dan akhirnya beliau pun memulai menulis lagi dan lagi. Beliau bilang, masuk UI di FIB jurusan Sastra Arab juga biayanya hasil ia menulis.

Alasan lain beliau menulis, juga karena pengalamannya yang pernah PATAH HATI. Ketika beliau SMA, beliau menyukai seorang ikhwan, tetapi tidak pernah berani mengatakannya (maklum lah ya). Alhasil, beliau menulis cerpen bersambung tentang kegalauannya sendiri, lalu dipampang di mading sekolah (tentu nama-namanya disamarkan :p), setelah cerbungnya sampai beberapa episode dipampang,  banyak teman-teman lelakinya yang membaca, dan ada 7 orang yang dengan GR nya menghampiri mbak Helvy, katanya, ada yang bilang “duwh, gue ga tau perasaan kamu kaya gini ke gue, tapi maaf ya gue udah ada yang punya.” Dan ke-GR-an lainnya, dan dalam hati mbak Helvy bilang “GR banget lo??” hehe..  Tapi mbak Helvy akhirnya merasa patah hati, karena sang ikhwan yang ia sukai itu hanya “stay cool”saja dan tidak merespon. Oke lah selesai! ,, beliau bilang diambil ibrohnya saja, yaitu apa?? Yap! Berkat sang ikhwan itu, mbak helvy jadi lebih rajin menulis.

Nah, apa maksud mbak helvy bercerita tentang ini? Gini teman-temin. Biasanya kita sering bilang “aduh, gue ga bisa nulis”, “wah, maaf deh, gue lagi ga mood”, wah, wah, dan wah lainnya kalau ada tugas menulis atau tawaran menulis/ lomba-lomba menulis (bukan termasuk membuat tugas paper kuliah ya). Sebenarnya teman temin, dalam kondisi apapun, kita itu bisa menulis lhoh. Mau lagi galau? Mau lagi patah hati? Mau lagi sedih? Mau lagi senang? Justru dengan apapun kondisi yang kita alami, kita bisa terinspirasi untuk membuat tulisan dan merekam sejarah hidup kita! Selain dari pengalaman-pengalaman hidup kita sendiri, dengan MEMBACA kita juga bisa kaya, kayaa banget! Bisa baca dari buku?  Koran? Majalah? Kepo-in blog nya orang? Atau tumbler? bahkan membaca alam pun bisa. Apa lagi kalau membaca karya sastra, keren banget tuh. Ada yang bilang kalau “membaca dan menulis itu bagaikan sepasang sepatu, tidak bisa dipisahkan.”

Kata mbak Helvy, selain tujuan awalnya ia menulis itu karena butuh uang, dan patah hati, beliau juga  menyadari kalau beliau adalah seorang muslimah yang bertugas untuk memenebar kebaikan-kebaikan dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, karena itu lah sebaik-baik makhluk. Manusia itu khalifah kan di bumi ini? So, berparadigma lah seperti pemimpin! J  (lhoh kok? Nyambung ke sini?.. nanti deh di bahas pas sesi bang Arif munandar!)..   Jadi, seorang muslim dengan menulis nya itu bisa menjadi cara untuk beribadah, mengajak orang ke arah kebaikan, dan tentunya di niatkan menulis karena Allah, untuk semata karena ingin mendapat ridho Nya . “karena saya seorang muslim, maka saya membaca dan menulis!.” 

Ada catatan pesan dari beliau nih, bahwa “tinggalkanlah jejakmu di dunia ini dengan berbuat baik. Berbuat baiklah dengan menulis. Dengan menulis, walau kita mati pada akhirnya tetapi tulisan kita tidak pernah mati.” Jangan pikirkan apakah tulisan kita bagus atau tidak. Jangan dipikirkan apakah hasil tulisan kita bisa berhasil membuat orang ketawa guling-guling karena kelucuan dari buku kita. Jangan takut juga apakah karya kita jelek atau tidak. “Yang harus kita pikirkan baik-baik adalah bagaimana tulisan kita bisa berarti untuk orang lain, bisa membuat orang lain bergerak, juga bagaimana agar tulisan kita tidak akan merusak masyarakat.” janganlah pernah kita menulis ‘sampah’. Kalau kita merasa tulisan kita tidak bermutu tapi kita ingin tetap menulis, paling tidak tulisan kita tidak merusak peradaban masyarakat. J [wuih, berat nih kata-katanya].

Mahasiswa itu terkenal cerdas, intelek, terpelajar, dll, apalagi mahasiswa UI (baca: katanya), tapi itu tidak berarti apa-apa kalau kita tidak membuktikannya dengan menulis. Maka, “tinggalkanlah jejakmu dengan menulis!”

Satu hal lagi dari mbak Helvy ini, dengan membaca tulisan-tulisan seseorang, maka kita bisa mengenali orang itu. Misal, kalau kita ingin tau seperti apa Taufik Ismail? Maka bacalah tulisan-tulisannya, bait-bait syairnya. Kalau kita ingin tau seperti apa Helvy Tiana Rosa? Ya bacalah buku-bukunya. Karena, melalui tulisanlah gagasan kita dituangkan, dengan begitu sadar atau tidak sadar, karakter kita tertumpahkan pula pada tulisan kita. Jadi, penulis dan tulisannya itu tidak bisa di pisahkan satu dan lainnya. Eh ada lagi!! Tau kah teman-teman kalau “tulisan kita, memperpanjang umur kita” ? so.. membaca dan menulislah… J

 

Pak Taufik Ismail:

Berbeda versi dengan jawaban mbak Helvy nih, Pak Taufik memberi wejangan. Dengan bersahajanya beliau berkata “membaca dan menulis itu wajib hukumnya, karena itu adalah sumber dan awal ukiran karya kita.” Subhanallah… , untuk merasakan indahnya karya, maka kita harus membaca karya-karya sastra. Karena karya sastra adalah sumber inspirasi. Oiya teman-temin, kalian pernah membaca survey yang dilakukan Pak Taufik mengenai sistem pendidikan di Indonesia terkait budaya membaca dan menulis??? Belum kan? Belum aja ya! :p lengkapnya cari sendiri deh di internet, tapi intinya adalah mayoritas jumlah buku sastra yang diwajibkan dibaca siswanya oleh SMA (baca: sistem pendidikan SMA)adalah NOL. Apa?? Iya NOL Buku. Dengan kata lain, mayoritas SMA di Indonesia hampir tidak pernah mewajibkan budaya membaca dan menulis. Ada lah SMA-SMA yang bagus, paling tidak maksimal mewajibkan siswa nya membaca karya sastra dalam 3 tahun itu 5 buku saja. Nah, sistem pendidikan saat ini MENELANTARKAN BUDAYA MEMBACA DAN MENULIS yang seharusnya sudah menjadi makanan sehari-hari seorang pelajar. Wah?? Baru tau? Sama! :p

Beliau mengatakan, kita ini (anak-anak bangsa) adalah korban dari sistem pendidikan yang menelantarkan membaca dan menulis. Oleh karena itu, wajar kalau kecintaan kita terhadap membaca dan menulis itu sangat sangat kurang. Beliau membandingkan ketika zaman dahulu beliau sekolah. Misal, ketika di SMA, beliau diwajibkan oleh guru Bahasa Indonesianya untuk membuat karangan. Satu buah karangan setiap minggu. Jadi, zaman dulu nih, satu minggu pelajar bisa membuat satu karangan, dalam sebulan sudah empat karangan. Nah dalam setahun berarti 72 karangan. Bayangkan, dalam tiga tahun sekolah SMA, pelajar Indonesia berhasil membuat 216 karangan!!! Hebat bukan? Lalu, tau ga, pemuda-pemuda terdahulu, katakanlah pada zaman masa-masa proklamasi, mereka diwajibkan membaca minimal 25 buah buku dalam 3 tahun.  Jadi, jangan heran kalau pemuda-pemudi seangkatan Pak Taufik ini misalnya, wawasannya luas, kosakatanya luar biasa banyak, dan kemampuan menulisnya tinggi. Kenapa? Karena kuantitas dan kualitas membaca bukunya juga tinggi guys!

Oke, sekarang tentang menulis. Pak Taufik bilang kalau “seseorang akan dikatakan terpelajar jika ia suka membaca dan rajin menulis.”nah, akibat kita menjadi ‘korban’, coba jawab! berapa buku yang kita lahap dalam sebulan? Seminggu? Sehari? .. katanya terpelajar? [wah, saya ngerasa di sindir juga nih.. clep!). Sedihnya, di Indonesia tercinta ini, latihan membuat karangan mungkin di anggap sepele, karangan di tinggalkan dalam kondisi sangat menyedihkan. Oleh karena itu, Pak Taufik dan teman-teman sastrawan lainnya sejak 16 tahun yang lalu sudah banyak melakukan ACTIONS nih untuk membantu pemerintah dan menyadarkan kalau sistem pembelajaran bahasa indonesia di pendidikan itu harus yang menyenangkan dan tidak monoton.

Talkless DO MORE !   😀 … oiya, sebelumnya saya mau bertanya dulu, apa yang teman-teman rasakan ketika mengikuti kelas bahasa indonesia di SMA dulu? Ngantuk? Bosan? Malas?? .. nah, itu dia, para sastrawan ini berupaya mematahkan hal itu, dengan melakukan program-program konkret dan solutif, misalnya sampai saat ini mereka sudah berkeliling ke sekitar 200 SMA di Indonesia untuk membuktikan sendiri kalau belajar bahasa Indonesia itu asik lhoh, bertemu dengan siswa-siswa dan turun langsung mengajarkan bahasa indonesia. Misal, Pak Rendra langsung membacakan puisi-puisinya di depan kelas, Mbak Helvy membacakan cerpen inspiratifnya, Pak Taufik sendiri berpuisi, dll. Dan suasana dibuat menarik, menggugah dan lebih banyak diskusi langsung dari ahlinya. Resultsnya apa? Siswa-siswi sangat antusias lhoh untuk belajar bahasa indonesia!! Selain itu, tim sastrawan Indonesia juga memberikan pelatihan-pelatihan pada guru-guru sekolah, khususnya guru bahasa Indonesia, bagaimana caranya mengajarkan bahasa indonesia yang asik, sehingga muridnya pun akan suka membaca dan menulis nantinya.

Ada pesan dari Pak Taufik buat kita semua? Ada pastinya! Beliau berpesan kalau kita, mulai detik ini, tidak boleh ketinggalan membaca buku, kita harus mengejar ketertinggalan budaya menulis. Caranya? Ya buat peraturan untuk diri sendiri saja juga bisa. Misal, kita targetkan untuk wajib membaca buku (apapun, entah karya sastra, biografi, dll tergantung yang kita suka asal edukatif dan menggugah semangat kita untuk berprestasi dan bergerak), minimal berapa buku perbulan.. nah, selain itu berlatihlan menulis. Misal di buku harian, jangan anggap remeh buku harian, kenapa? Karena bisa kita lihat, saat ini banyak penulis-penulis terkenal buku-bukunya padahal awalnya mereka hanya curhat soal pengalaman-pengalamannya. Bedanya kalau zaman dulu buku diari itu ditutup serapat-rapatnya, bahkan pakai gembok. Zaman sekarang, buku harian justru di publikasikan dan jadi konsumsi orang banyak.

Lanjut! Ya, menulis buku harian, yaa minimal satu sampai dua halaman per hari. Nah, apa yang di tulis? Ada 2 hal, bisa pengalaman-pengalaman yang menarik, kejadian lucu gitu, dll atau gagasan/ ide kita akan sesuatu hal, apapun itu. Coba tuliskan! Ga apa-apa, kalau tulisan ini tidak terikat oleh aturan-aturan/ kaudah menulis,tata bahasa, dll,..  Learning by doing lah.. J  yang penting ide kita bisa tersampaikan, bisa tercatat setiap hari. Minimal, kita bisa mencatat sejarah hidup kita sendiri!

Sesi 1 sebenarnya belum selesai, saya belum memapatkan insides dari Kak Topan, nanti kita lanjutkan lagi ya. Semoga bermanfaat!

[ga nyangka, dengan menyimak sesi 1 acara SILAKBAR ini yang ga sampai 2 jam saja, bisa membuat saya berhasil menulis 5 halaman tulisan ini (dan belum selesai lhoh!). waah.. Terima kasih saya sampaikan. Maaf kalau banyak kekurangan.. wajar, karena masih belajar untuk menjadi orang bermanfaat. 🙂

***

 

 

Syarifah Lubbna

Ketua Keputrian FPPI FIK UI 2012

17:07 WIB, @Asrama Aceh Lt.4 Depok

Sabtu, 15 September 2012

UKHUWAH KITA

UKHUWAH TAK MENGENAL KESUDAHAN

IA MENGIRINGIMU DALAM HIDUP SEBAGAI PENYEJUK
MENYAPAMU DALAM KESENDIRIAN YANG MELELAHKAN
MENJAGAMU UNTUK TETAP DALAM SENYUM PERJUANGAN

 

UKHUWAH ADALAH PERSAUDARAAN YANG KEKAL
IA TAK MENGENAL KEJENUHAN
IA SLALU PUNYA SESUATU UNTUK DIBAGI
MESKI ITU HANYA SEBUAH NASIHAT
ATAUPUN SELAKSA DO’A YANG TAK NAMPAK

 

PADA DASARNYA UKHUWAH ITU,
MENGUATKAN YANG LEMAH
MENGHUBUNGKAN YANG TERPISAH
MENGHIMPUN YANG BERBEDA
MENGOBATI YANG TERSAKITI
DAN MENJAGA DENGAN SALING MENASEHATI

 

KARENA SESUNGGUHNYA…
UKHUWAH TERANGKAI SEPERTI TASBIH,
ADA AWAL NAMUN TIADA AKHIR,
DIAWALI DENGAN BISMILLAAH
DAN DITUTUP DENGAN INNALILLAAH..

 

 

 

Syarifah Lubbna

30 Agustus 2012

19.23 WIB

Kau lah sang perhiasan

[Memperingati International Hijab Solidarity Day]

 

Allah sangat memuliakan muslimah

Pernahkah kau mendengar, wanita diciptakan dari tulang rusuk pria? Tahukah kau apa maknanya? Ada lhoh, wanita bukan diciptakan dari kepala pria, karena bukan untuk menjadi atasannya. Bukan juga diciptakan dari kaki pria, karena bukan untuk menjadi bawahannya. Tapi dari tulang rusuk pria yang berarti sejajar. Dekat dengan tangan untuk dilindungi, dan dekat dengan hati untuk dicintai dan disayangi…  Subhanallah, betapa Allah sangat memuliakan kita, muslimah.

Pernah dengar pula hadits “seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah wanita yang shalihah.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad)? Ada peryaratan tersendiri bagi seorang wanita untuk disebut-sebut sebagai perhiasan dunia yang terbaik, yaitu menjadi muslimah shalihah. Sungguh, Allah sangat mencintai kita.  Karena kita adalah pemegang peran penting untuk peradaban dunia, untuk membimbing manusia-manusia di bumi ini untuk menjadi khalifah yang lurus, dan mendidik masa depan. Melalui apa? melalui peran-peran mulia kita, yaitu sebagai Mar’atusshalihah (wanita yang shalihah), zaujatul muthi’ah (istri yang taat), dan ummum madrasah (ibu yang mendidik).

Peran kita sebagai Muslimah

Peran pertama ini adalah peran diri kita terhadap Allah. Bagaimana kita harus bisa menjaga kehormatan diri, beribadah kepada Allah, mengerjakan hal-hal yang dihalalkan Allah dan meninggalkan yang diharamkan Allah, berperilaku santun, berkata lembut dan halus, hormat pada orang tua kita, dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat menodai kelembutan hati kita. Selain itu, kita juga berperan untuk men-shalih-kan orang lain. J

Peran kedua, adalah menjadi zaujatul muthi’ah atau istri yang taat. Seorang istri adalah perhiasan bagi suaminya. Seorang istri adalah penentram hati suaminya seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum: 21).

Poin terakhir adalah menjadi ummul madrasah atau ibu yang mendidik. Kelak, dari rahim kita akan lahir sebuah generasi baru. Di sinilah, kita sebagai ibu sangat memiliki peran besar bagi pembentukan kepribadian anak-anak. ibu adalah madrasah pertama sehingga peran kita adalah membangun madrasah yang kelak dapat membangun peradaban dari rumahnya.

Itulah 3 peran penting yang harus dimiliki oleh setiap muslimah. Apabila seorang wanita dapat menjalankan ketiga peran ini dengan baik, maka kita benar-benar dapat disebut sebagai sebaik-baik perhiasan di dunia.

Dengan hijab, Allah melindungi kita

Sekali lagi, Allah sangat mencintai kita. Dia sangat ingin menjagamu, dan salah satu caranya adalah dengan mewajibkan memakai hijab. Percayakah? Allah paling mengetahui yang terbaik bagi seluruh hambaNya (QS. Al-Baqarah: 216). Sering kali ada hal yang menurut kita baik, namun menurut Allah itu buruk, atau sebaliknya. Ini menandakan bahwa ilmu kita sebagai makhluk yang lemah bernama manusia tidak akan sanggup untuk menandingi ilmuNya. J

Hijab berasal dari bahasa arab, yang arti harfiahnya penutup, penutup yang tujuannya untuk menutup aurat bagi kita wanita muslimah. Menutupi seluruh aurat, tidak ketat, tidak tipis, dan tidak transparan. Hey muslimah cantik! Hijab itu ‘iffah (kemuliaan), hijab itu kesucian, hijab itu pelindung, hijab itu taqwa, hijab itu iman, hijab itu haya’ (rasa malu), dan hijab itu ghirah (perasaan cemburu). J

Belum siap, hatinya dulu yang dihijab

Wahai muslimah cantik! J berhijab ini bukan masalah kesiapan, namun kewajiban. Kalau kita menunggu berhijab saat sudah siap, ada yang bisa menebak berapa lama lagi kita akan berhijab? Ada kemungkinan kita tidak akan pernah berhijab sampai Allah memanggil kita. Yang baik adalah berhijab dahulu meskipun belum sempurna, sambil pelan-pelan diperbaiki sikap dan hati kita. Sama seperti sholat, jika kita menunggu khusyuk dulu baru sholat, mungkin kita tidak akan sholat-sholat. Atau contoh lain, jika kita mau bersedekah tetapi menunggu ikhlas, mungkin kita tidak akan pernah sedekah seumur hidup. J, untuk itu sepakat tidak kalau istilah yang paling tepat adalah “Learning by doing”? 

Jadi, kau lah sang perhiasan jika kita berusaha mengamalkannya! 😀

***

 

DARI MUSLIMAH FIK UI:

“Hijab syar’i bagi muslimah ibarat atmosfer bagi bumi. Hijab itu melindungi dan membimbingmu menjadi sebaik-baik perhiasan dunia, yaitu muslimah shalihah”

 

Syarifah Lubbna,

Beberapa Kaidah dari Ushul Fiqih; Bimbingan untuk Dai

Terdapat 10 kaidah dari ushul fiqih yang perlu dipahami oleh pada dai dalam berdakwah. Kaidah tersebut antara lain; Memberi keteladanan sebelum berdakwah, mengikat hati sebelum menjelaskan, mengenalkan sebelum memberi beban, bertahap dalam pembebanan, memudahkan bukan menyulitkan, yang pokok sebelum yang cabang, membesarkan hati sebelum memberi ancaman, memahamkan bukan mendikte, mendidik bukan menelanjangi, dan muridnya guru bukan muridnya buku. berikut akan dijelaskan secara singkat, padat, dan jelas mengenai intisari kesepuluh kaidah tersebut berikut tanggapan penulis.

 

Kaidah 1: memberi keteladanan sebelum berdakwah

dai bagaikan pelita di kegelapan malam. tanpa kehadiran dai (orang yang berusaha untuk mengajak manusia-dengan perkataan dan perbuatannya-kepada islam, menerapkan manhajnya, memeluk akidahnya, dan melaksanakan syari’atnya), kaum muslimin akan menjadi orang-orang yang bodoh. melalui dakwah para dai, kesesatan dapat disingkirkan dari pikiran manusia, dan awan keraguan dapat disingkap dari hati dan jiwa mereka.

perilaku dan amal para dai adalah cerminan dari dakwahnya. oleh karena itu, Allah mengutus Nabi SAW sebagai Rasul-Nya untuk menjadi teladan umat manusia. Allah menghendaki utusanNya yang menjadi teladan dalam perilaku, ibadah, muamalah, dan kebiasaan sehari-hari. jadi, wajib bagi seorang dai untuk mempelajari perjalanan hidup Rasulullah. Karena sirah nabawiyah menceritakan kita tentang kepribadian manusia yang dimuliakan Allah sehingga menjadi teladan yang paling sempurna bagi orang-orang beriman bahkan menjadi tokoh idola umat manusia. keteladanan Rasulullah bukan sekedar untuk dibanggakan, tetapi untuk diikuti umat manusia sesuai kemampuan masing-masing. karena islam melihat bahwa keteladanan merupakan sarana dakwah dan pendidikan paling efektif.

keteladanan dilihat dari perilaku. seorang anak membutuhkan teladan/ contoh yang baik dari keluarganya, keluarga membutuhkan teladan dari masyarakat, masyarakat membutuhkan teladan dari pemimpinnya. bagaimana mungkin seorang pendusta mendakwahi rakyatnya untuk bersikap jujur? berdakwah tanpa keteladanan tidak akan memberi arti apa-apa, tidak akan didengarkan, bahkan meninggalkan pengaruh buruk pada diri objek dakwah.

keteladanan harus dimulai dari diri sendiri. seorang mukmin sejati wajib memulai sesuatu dari dirinya sebelum dia mengajak orang lain, sehingga akan terlihat dengan jelas bahwa dai melakukan apa yang ia katakan, bukan hanya menjadi tukang bicara. para dai hendaklah menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat sehingga risalah yang mereka dakwahkan tergambar dalam langkah-langkah mereka. yang berbahaya adalah apabila agama telah berubah menjadi profesi, bukan lagi sebagai akidah serius yang mampu memotivasi. Allah telah memperingatkan hal ini pada QS. Al-Baqarah (44). karena dakwah yang hanya menjadi profesi adalah dakwah yang akan muncul tanpa ruh, tidak muncul dari hati. oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap dai untuk mengekspresikan setiap nilai yang hendak disampaikan dalam dakwah melalu ucapan dan perbuatan. dari sinilah, dai wajib untuk bersungguh-sungguh menginstrospeksi diri, sehingga dapat selalu istiqomah dalam ketaatannya, karena jika demikian, apa yang tampak pada lahir sama dengan batin.

tanggung jawab para dai terhadap masyarakatnya seharusnya tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap diri mereka sendiri. kesibukan untuk memperbaiki manusia seharusnya tidak memalingkannya dari memperbaiki keadaan mereka sendiri. hendaknya para dai memelihara dirinya dan membersihkan hatinya serta bermuhasabah terhadap seluruh anggota badannya dengan melakukan perenungan sejenak disela-sela waktunya. dengan selalu berterus terang pada diri sendiri pula, keteladanan dai tidak mudah terlupakan oleh objek dakwah. keteladanan yang baik itu merupakan dakwah amaliyah dan bukan dakwah lisan saja. keteladanan berarti dakwah dengan perilaku sebelum dakwah dengan perkataan.

 

Kaidah 2: Mengikat hati sebelum menjelaskan

Risalah islam adalah risalah rahmah (kasih sayang). risalah islam itu sesuai dengan fitrah manusia, yaitu mencintai orang yang bersikap baik kepadanya dan membenci orang yang bersikap buruk. dai yang bijaksana adalah dai yang melihat hati-hati manusia yang tertutup kemudian berupaya membukanya dengan lemah lembut dan berinteraksi dengan penuh kasih sayang dan berusaha menghadirkan perasaan cinta dalam berbicara dengan objek dakwah, tanpa mengurangi bobot dan isi yang didakwahkannya. dengan itulah maka hati yang keras akan menjadi lunak, jiwa yang penuh maksiat menjadi istiqomah dalam kebaikan. tutur kata yang baik merupakan kunci untuk membuka hati manusia agar mau menerima seruan untuk kemudian mau melaksanakannya, dan merupakan jembatan antara dai dan objek dahwahnya.

jika kau seorang dai, pertama kau perlu menanamkan pada diri objek dakwah bahwa kau menyeru mereka kepada sebuat prinsip nilai, bukan demi kemaslahatan pribadi. objek dakwah perlu melihat bukti nyata dari kebenaran prinsip yang dibawa dai, baru mereka akan yakin dan turut dengan ajakanmu. kedua, hendaknya memberikan kesan kepada objek dakwah bahwa engkau selalu menaruh perhatian kepadanya dan menginginkan kebaikan baginya. ketiga, hendaknya kau tidak bersikap keras, meskipun hanya dengan kata-katamu, karena kekerasan tidak akan membawa kebaikan. hal ini dapat kita ambil pelajaran pada kisah nabi Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala milik orang musyrik, dengan kekerasan, maka mereka malah semakin membenci Ibrahim maka Allah menurunkan ayat untuk menegurnya. keempat, hendaknya kamu membuat objek dakwah itu dekat denganmu, berseri muka dihadapannya, dan jangan mencari-cari kekurangannya.

sikap lemah lembut yang mengikat hati ini telah banyak dicontohkan/ dikisahkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW.  dalam hadits yang diriwayatkan Al-Maruzi, ketika ada seorang laki-laki datang menanyakan tentang apa itu agama, Nabi menjawab agama adalah akhlak yang baik, dan berbagai macam contoh/ kisah lain. oleh karena itu, dai perlu memiliki dua sifat utama, yaitu bersikap lemah lembut kepada manusia ketika berdakwah, dan menahan marah ketika bergaul dengan mereka. dakwah harus selalu dilakukan dengan wajah yang berseri, sikap dan pembicaraan yang lemah lembut, menutupi aib dan menampakkan kebajikan. dakwah merupakan langkah-langkah terprogram untuk berinteraksi dengan jiwa manusia yang bermacam-macam tabiatnya.

dilanjutkan, kelima, jika kau adalah seorang dai, hendaknya kamu menghadapkan wajahmu ketika berbicara dengan objek dakwah, jangan kamu putus pembicaraannya, dan janganlah pula kamu lecehkan kata-katanya. dalam etika berdialog, hendaknya para dai ‘menghargai’ musuhnya, sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rasulullah. beliau berbicara kepada musuhnya dengan adab yang mulia dan penghargaan yang tampak jelas, serta memanggilnya dengan panggilan yang disukai. selain itu, hendaknya para dai berlapang dada untuk mendengarkan pendapat orang lain dan sudut pandang mereka dalam menatap setiap permasalahan, apapun pandangan mereka. keenam, ketika berbicara dengan objek dakwah janganlah kau merasa lebih tinggi daripadanya dan tempatkan ia sesuai posisinya, karena itu sudah merupakan sikap sombong, dan Allah melaknatnya. ketujuh, hendaknya engkau menasehati objek dakwah dengan rahasia, janganlah engkau membuka aibnya dihadapan orang banyak. kedelapan, hendaknya memberikan hadiah kepada objek dakwah untuk melunakkan hatinya. Allah berfirman tentang hal ini pada QS. At-Taubah (60). Nabi bersabda “hendaknya kamu saling menghadiahi, karena sesungguhnya hadiah itu dapat menghilangkan sakit kati”, dsb.

kesembilan, hendaknya seorang dai merangsang tekad objek dakwah agar hatinya terbuka untuk menerima kebenaran. seperti, memuji atas hal-hal kecil dari kebaikan yang ada pada objek dakwah, meski hanya sekecil biji bayam. para dai pula seharusnya dapat bersikap ramah (mudaarah) terhadap orang awam, maksudnya bersikap lemah lembut dan berseri muka dihadapan objek dakwah tanpa menyembunyikan kebenaran, atau mengatakan baik sesuatu yang batil, tidak menyembunyikan hakikat. hal ini tersurat pada QS. Al-Qalam (9).  kesepuluh, hendaklah menjauhi perselisihan dalam masalah fiqih dan meninggalkan debat atau saling berbangga diri dengan pendapatnya. karena hal inilah yang akan merusak persatuan umat muslim dan umat manusia.

dengan kesepuluh hal inilah, seorang dai dapat mengupayakan objek dakwah agar mencintai islam, dengan mengikat hati mereka dengan kelemahlembutan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

 

Kaidah 3: Mengenalkan sebelum memberi beban

para dai perlu memerhatikan prinsip yang seharusnya dipenuhi dalam rangka meluluhkan hati sang objek dakwah, yaitu ‘at-ta’riif qabla at-taklif’ (upaya untuk membuat senang dalam menggeluti kebenaran), mendorong mereka untuk beramal dengan kebenaran itu, dan menjelaskan tentang besarnya pahala yang dijanjikan atas setiap orang yang mau berbuat demikian.   sebelum memberi beban, perlu ada fase pengenalan kepada objek dakwah. fase pengenalan merupakan fase terpenting dalam dakwah, karena apabila seorang dai baik dalam mengemukakan awal dakwahnya berua pengenalan, maka hati manusia akan terbuka untuk menerimanya dan mereka menjadi senang untuk melaksanakannya.

Al-Qur’an diturunkan untuk mengenalkan kepada manusia tentang empat persoalan, sebelum memberikan beban kepada mereka dengan perintah apa pun, yaitu; mengenalkan kepada mereka tentang Rabb mereka agar mereka beribadah kepadaNya, mengenalkan akan diri mereka agar mereka memahami hakikat keberadaan atau eksistensi mereka, mengenalkan tentang alam semesta agar mereka menggunakan dan memakmurkannya, dan mengenalkan kepada mereka tentang akhir perjalanan hidup yang menanti-nanti mereka di akhirat. ini semua agar mereka memiliki persepsi yang benar dan keyakinan yang lurus, sehingga perilakunya menjadi benar.

yang didahulukan dalam mempelajari islam adalah penerimaan kita terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah. sehingga akan muncul rasa ketaatan sebagai buah dari pengetahuan tentang Allah dan rasulNya. kemudian, setelah selesai mengenalkan kebenaran, hal pertama kali yang harus dilakukan para penegak kebenaran adalah membuka mata orang lain untuk melihat sinarnya, dan memberitahukan kepada orang-orang yang tidak tahu terhadap kebenaran serta menjadikan kebenaran itu dalam kehidupan ini menjadi jelas. hal ini dilakukan bukan dengan kekerasan, akan tetapi dengan cara menarik perhatian dan menjelaskan yang masih samar serta menguraikan yang masih belum bisa dipahami.

ada beberapa tahapan dakwah yang perlu dilampaui, yaitu: tahap pengenalan terhadap pola pikir, tahap pembentukan (seleksi pendukung, dan kaderisasi serta pembinaan), dan tahap aksi dan aplikasi. seorang dai wajib memberikan menjelasan kepada objek dakwahnya sebelum ia memberikan tugas dengan berbagai beban di perjalanan. dan perlu diingat sesungguhnya jalan dakwah ini akhirnya adalah menyenangkan “Aku dan rasul-rasulKu pasti menang, sesungguhnya Allah maha kuat lagi maha perkasa.” (QS. Al-Mujaadilah:21). oleh karena itu, dai wajib memberitahukan kepada orang-orang yang menempuh perjalanan dakwah tentang urgensi “kepercayaan” (tsiqah) di sepanjang perjalanan itu. Tsiqah itulah yang akan mampu mengantarkan mereka kepada tujuan yang diinginkan sehingga tidak tersesat ditengah jalan.

seorang dai perlu menentukan tujuan-tujuan (sasaran-sasaran) yang harus dicapai sebagaimana juga harus menentukan tahapan-tahapan yang akan ditempuh dalam aktivitas dakwah. di antara target yang hendak diraih adalah terwujudnya “kepribadian islami” yang utuh dan sempurna. yaitu kepribadian yang memiliki kriteria; paham, ikhlas, amal, jihad, pengorbanan, taat, teguh pendirian, totalitas dalam berislam (tajarrud), ukhuwah, dan kepercayaan (tsiqah).

 

Kaidah 4: Bertahap dalam pembebanan

pekerjaan paling berat dan paling sulit diantara yang sulit adalah aktivitas pendidikan dan pembinaan, karena didalamnya terdapat interaksi dengan jiwa manusia dengan berbagai keragu-raguan. Jiwa manusia biasanya cenderung untuk bengkok, penyimpang, dan berbuat maksiat, sehingga apabila dai lencoba langsung memperbaiki jiwa itu secara frontal, berarti ia telah membenturkan diri dengan objek dakwahnya. Setiap dai wajib bersikap lemah lembut dan melakukan pendekatan serta terapi secara bertahap. Seperti Allah mengajarkan, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, 23 tahun, sesuai dengan kondisi masyarakat Arab saat itu dan tingkat pemahaman mereka (Al-Isra:106). Tahapan-tahapan ini membuta manusia dapat mengenal dan tidak terasa berat. Langkah awal dari sebuah upaya perbaikan itu dimulai dari diri pribadi sang dai, sampai ia yakin bahwa dirinya telah berpijak diatas kaidah yang benar dalam memberikan pengarahan. 

Dai harus berbicara kepada orang sesuai dengan kadar pengetahuannya, mendekati objek dakwah dimulai dari titik taraf pemahamannya. Dai menjelaskan/ mengenalkan dan memberi pengarahan sesuai kondisi objek dakwah saat itu, sehingga perlu pula menunda penjelasan yang memang seharusnya belum waktunya untuk dijelaskan. Banyak sekali datang perintah dari Allah berupa kewajiban-kewajiban, tetapi Rasulullah tidak menjelaskannya kecuali ketika dibutuhkan dan siap diamalkan, misalnya masalah shalat. Prinsip tadarruj (bertahap) ini adalah prinsip asasi dalam berdakwah, hingga manusia memahami agama ini sesuai dengan kemampuan akal dan menerima dengan hatinya.

 

Kaidah 5: Memudahkan, bukan menyulitkan

“Allah menginginkan kemudahan bagi kamu, dan Dia tidak menginginkan kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185)

Setiap dai wajib melihat objek dakwahnya dengan jiwa dan pandangan seorang pendidik yang penuh kasih sayang, rendah hati, dan pemaaf. Senantiasa mengharap kebaikan atas diri objek dakwahnya, bukan malah memandang objek dakwah dengan pandangan penuh kepura-puraan, sok alim dan berusaha menampilkan kesan dihadapan mereka mahwa dirinya adalah yang paling pintar di muka bumi. Dari sinilah, dai wajib berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar akalnya, sehingga memudahkan apa-apa yang terasa sulit dan menjelaskan apa-apa yang belum jelas bagi mereka.

Diantara upaya mempermudah itu adalah menjauhi sikap sok fasih (tafashshuh) dan berlebihan dalam berbicara. Yang laing penting, dai perlu menghubungkan antara tema yang ia bicarakan dengan realitas yang sedang dihadapi oleh objek dakwah, dengan cara membuat ilustrasi yang mudah dipahami, membangkitkan perhatian, dan menggunakan perbandingan dengan hal-hal serupa. Dai juga hendaknya mengikutsertakan objek dakwah dalam pembicaraan dengan suasana dialogis (komunikasi dua arah), agar dapat diukur sejauh mana pengertian yang dapat ditangkap oleh objek. hendaknya pula tidak berlebihan dalam melontarkan pertanyaan-pertanyaan pada objek dakwahnya, sebelum ia yakin bahwa dia sendiri menguasai jawabannya beserta seluruh argumentasi dan dalil-dalilnya. Nabi bersabda (diriwayatkan oleh Anas bin Malik) “Permudahlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.” (HR.Bukhori).

Frekuensi dalam memberi nasihat juga jika diperlukan perjaranglah, agar tidak terjadi kebosanan pada objek dakwah. Yang diperlukan adalah kontinuitas dengan syarat boleh setiap hari tetapi tidak memaksakan, atau sehari ya sehari tidak sehingga ada waktu untuk beristirahat dan memperoleh kembali semangat pada hari berikutnya. Pada awalan, objek dakwah terlebih dahulu boleh meninggalkan yang sunah jika khawatir menimbulkan kejenuhan. Juga jika dai menjadi imam, ringankanlah shalatnya, karena diantara objek dakwah ada yang lemah, sakit, atau renta. Sehingga tidak membuat manusia lari. Yang lebih penting adalah mendahulukan yang wajib-wajib sebelum yang sunnah. Kalau kamu seorang dai, dan kamu mendakwahi manusia ke jalan Allah, bukalah kesempatan bagi mereka untuk melaksanakan rukhshah, dan bersikap lemah lembutlah terhadap mereka, dan janganlah engkau membebani mereka dengan sesuatu yang mereka tidak sanggup membawanya.

 

Kaidah 6: Yang Pokok sebelum yang cabang

Seorang dai ketika berinteraksi dengan jiwa manusia, hendaknya berupaya untuk dapat masuk ke dalam jiwa para objek dakwahnya dan memahami perasaan mereka. Baru setelah itu dia dapat menggerakkan hati nurani mereka dan membangkitkan perasaan mereka menuju Allah. Jika tahapan itu telah terlaksana dan hati mereka menjadi lunak, maka dia akan bisa mengarahkan mereka kepada apa yang dia inginkan, dan mereka pasti akan menyambut seruannya dengan ijin Allah. Dai wajib memulai dari yang pokok dengan metode yang mudah dipahami oleh objek dakwah, sehingga pesan dakwah bisa sampai kepada mereka. Seperti turunnya Al-Qur’an, ia memulai dari yang pokok, mengenai ketuhanan, mengenalkan Allah, dll karena Al-Qur’an sangat memerhatikan manhaj pendidikan.

Dai harus memulai dengan akidah terlebih dahulu sebelum yang lainnya, atau sebelum masalah-masalah pembebanan dan penetapan hukum, sebagaimana Al-Qur’an mengajarkan. Hendaknya dai meluruskan terlebih dahulu akidah umat dan menggerakkan perasaan mereka serta membangkitkan hati nurani mereka agar segera sadar dari kelalaian. Islam mempersatukan kamu muslimin di atas pondasi berikut; pertama, perasaan yang satu (masya’ir waahidah) sehingga mereka menghadap Tuhan yang satu, kedua, kesatuan ibadah (Sya’ aa’ir waahidah) ibadah yang ada adalah manifestasi penghambaan dan berfungsi untuk memperdalam iman dan mengikat kerukunan di antara mereka. Ketiga, kesatuan sistem hidup (syaraa’i waahidah) aturan Allah. Jika hati-hati manusia sudah menyatu dan ibadahnya pun satu maka akan mudah untuk ditegakkan karena mereka bergegas berlomba dalam kebaikan.

Jadi, hal pertama yang perlu diajarkan adalah mengenai keimanan, agar mereka memahaminya. Baru menjelaskan tentang hal-hal fardlu. Setelah itu secara bertahap kita memperkenalkan keutamaan-keutamaan yang sifatnya sunah kepada mereka. Misal, jika mereka bertanya tentang sholat, jawablah dengan shalat wajib lima waktu.  Hal penting pula, dai hendaknya menjauhi titik singgung perbedaan. Banyaknya masalah-masalah furu’ (cabang) jika terus diperdebatkan, sehingga dapat memecah belah shaf dan persatuan umat. Maka, jika menemukan perbedaan, selesaikanlah dengan ‘kaidah emas’ seperti yang sikatakan Imam Syahid “kita bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati bersama, dan saling memaafkan dalam hal hal yang kita perselisihkan.” Bahayanya adalah jika sibuk dengan perbedaan kecil, maka akan mengesampingkan persoalan besar.

Oleh karena itu, wajib setiap mengawali dakwah, memulai aktivitas dakwah dengan yang pokok sebelum yang furu’, hal hal yang bersifat kuliyat (keseluruhan), sebelum yang juz’iyat (sebagian), yang ijmaliy (global) sebelum yang tafshiiliy (rinci).

 

Kaidah 7: Membesarkan hati sebelum memberi ancaman

Seruan berbuat kebaikan, melaksanakan ketaatan dan beristiqomah di atas perintah Allah adalah amal saleh yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Setiap dai wajib mendahulukan kabar gembira (bisyaarah atau targhib) sebelum memberi ancaman (nadzaarah atau tarhib). Contohnya, seorang dai semestinya terlebih dahulu memberikan kabar gembira kepada objek dakwah untuk beramal dengan ikhlas, sebelum memberi ancaman kepadanya tentang bahaya riya’. Memberi kabar gembira terlebih dahulu sebelum peringatan bisa membuat hati menerima dengan baik dan lega. Diantara ayat Allah tentang kabar gembira: Asy-Syu’ara (78-82), Al-Hadid: 28, An-Nahl:97, Nuh:10-12, Al-Baqarah:261,, dll.

Para dai hendaknya menyampaikan kabar gembira atau motivasi sebelum menyampaikan ancaman, agar hati tertutup bisa terbuka. Dai pula hendaknya memahami kondisi objek dakwahnya sebelum dia mendakwahi mereka, sehingga dia tidak menakut nakuti mereka sebelum menyampaikan kabar gembira. Seperti yang dicontohkan Nabi ketika mengajak ‘Adi bin Hatim masuk islam, berbicara dengan sesuatu yang dapat membuat objek dakwah tertarik pada dakwah ini. Para dai hendaknya selalu mendorong objek dakwahnya untuk berbuat baik. Apabila dia sudah melihat kebajikan pada objek dakwahnya, hendaklah dia mendorongnya untuk terus meningkatkan. Dalam hadits Nabi, mengisahkan tentang si pembunuh seratus jiwa yang diambil oleh malaikat rahmat karena jaraknya lebih dekat ke tempat yang baik walau hanya sejengkal, dan kisah lainnya. Janganlah sekali-kali memberi kesan kepadanya bahwa dia jika dia telah banyak bermaksiat, dosannya besar dan ia tidak akan diampuni.

Ketika berbicara dengan objek dakwah, seorang dai wajib untuk tidak membebaskan dirinya dari kesalahan. Dai perlu menanamkan kesan pertama kali bahwa dirinya juga manusia biasa sebagaimana mereka, terkadang benar terkadang salah. Maka, agamalah sebagai nasihat, bagi Allah, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin, dan orang-orang awam.

Setelah menyampaikan targhib, hendaklah dilanjutkan dengan mengenalkan kepada mereka hakikat dunia dan pengaruhnya, sehingga menjadikan landasan mereka tak terlalu terikat olehnya. Jiwa manusia, sebagaimana dia ditundukkan dengan cara memberi dorongan, dia juga harus ditundukkan dengan cara diberi peringatan dan ancaman. Karena peringatan ini akan mampu menjauhkan mereka dari perbuatan hina dan tercela, yakni setelah tumbuh dalam jiwa mereka rasa takut akan akibat yang akan menimpanya. Dengan demikian, dai telah berinteraksi dengan fitrah manusia tanpa membenturkannya dengan benturan yang keras, tetapi melatih dan mengobatinya, sehingga fitrah itu kembali seperti semula sebagaimana pertama kali diciptakan Allah.

 

Kaidah 8: Memahamkan bukan mendikte.

Semua amal menuntut adanya pemahaman mendalam tentang pokok-pokok ajaran islam maupun cabang-cabangnya, dasar-dasar islam maupun detail ajarannya, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW. Bukan sekedar nash-nash yang dibacakan saja, tetapi juga ruh yang menghidupkan dna cahaya yang menerangi jalan. Dai perlu memerhatikan situasi dan kondisi dalam menyampaikan dakwahnya dan selalu mengutamakan kemaslahatan. Tidak mungkin tujuan dakwah akan tercapai hanya dengan nash-nash secara tekstual.

Seperti pada QS. Al-Anbiya: 78-79, Allah memahamkan Sulaiman untuk memberikan keputusan/ hukum atas sesuatu, para dai pun membutuhkan pada hikmah yang disertai dengan ilmu dan bukan sekedar ilmu saja. Dari sinilah, maka tranformasi ilmu (talqin) dengan mendikte saja tidak cukup. Bahkan dapat membahayakan pada kadar tertentu. Para dai hendaknya berhati-hati dalam menghukumi seseorang, sehingga tidak salah dalam memvonis dan tidak menyakitkan hati orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka, para dai perlu mempelajari islam secara keseluruhan, tidak hanya kontekstual, karena justru hal ini bisa memacu perpecahan. Adapun kita dapat memetik pelajaran dari kisah sekelompok teman yang mematahkan meja makan temannya ketika diundang makan, mereka berdalih bahwa temannya salah telah menghidangkan makanan di atas meja makan, padahal rasulullah tidak pernah melakukannya. Maka, temannya membalas dengan merusak sepeda-sepeda kelompok temannya itu dengan berdalih bahwa Rasulullah tidak pernah menggunakan sepeda. Inilah contoh pemahaman yang salah terhadap nash-nash hadits sehingga menimbulkan kerusakan. Sikap semacam ini sama saja dengan menegakkan sunnah dengan bid’ah dan menghapus bid’ah dengan memunculkan bid’ah yang lebih parah.

 

Kaidah 9: Mendidik, bukan menelanjangi

Instrospeksi seorang dai untuk mengetahui aib-aib dirinya dan dengan tujuan mengobatinya merupakan sesuatu yang sangat urgen. Karena orang yang tidak pernah instrospeksi diri dan merasa bahwa pendapat-pendapatnya yang paling benar akan menghilangkan persaudaraan islam. Secara alami, jiwa manusia mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan membenci yang berbuat buruk kepadanya. Oleh karena itu, dai harus memasuki jiwa manusia itu dari pintu “kebaikan” bukan dari pintu “keburukan”. Seorang dai harus bersih dari sikap sok pandai, sikap sok intelek, cinta popularitas, ambisi kepemimpinan, dan keinginan-keinginan nafsu lainnya.

Dai yang benar dan lurus adalah mereka yang senantiasa menjauhkan hal-hal tersebut dalam kehidupannya. Perasaan iba terhadapt orang yang bermaksiat adalah dengan menutupi aibnya, bukan malah menyebarkannya. Hal itu lebih baik dan lebih bermanfaat daripada perasaan sombong yang hanya akan memperlebar kesenjangan antara dai dan objek dakwah, dalam hadits Nabi, Allah pun menghendaki kita untuk selalu bertawadhuk.

Semestinya seorang dai menutupi aib orang lain, bukan justru membeberkannya. Karena risalah dakwah adalah risalah pendidikan, maka sejak awal seorang dai harus mengedepankan kepribadian bermoral. Merahasiakan aib objek dakwah dapat membuat mereka merasa aman dan dilindungi sehingga mereka akan lebih dekat dengan dai, dengan demikian nilai-nilai islam dapat dengan mudahnya diterima mereka. Demikian, Rasulullah pun senang memegang tangan orang yang bermaksiat, menutupi aurat dan menerima kesalahannya serta membantunya untuk melawan setan yang ada pada dirinya, sehingga apabila beliau melihat ada seseorang yang berbuat salah, beliau tidak menyebut namanya dan tidak menunjukkannya dihadapan khalayak. Dai harus mengingat betul, bahwa orang yang memerintahkan orang lain untuk berbuat baik, hendaknya juga menggunakan cara ynag baik.

Allah berfirman dalam QS. Lukman: 18, bahwa manusia Janganlah sombong, janganlah memalingkan wajahmu apabila engkau berbicara dengan mereka. Akan tetapi, tetaplah bersikap lemah lembut terhadap mereka dan rendahkanlah dirimu terhadpa yang muda maupun yang tua dari mereka. Allah memerintahkan kita untuk bergaul dan memperlakukan manusia dengan baik, dengan memaafkan mereka yang bersalah, apalagi kepada mereka yang telah bertobat, agar kita menjadi teladan, sehingga sikap seperti ini akan berpengaruh terhadap orang orang yang kita dakwahi ke arah kebaikan.

Akhlak para dai adalah akhlak yang membangun dan bukan merusak, yang meluruskan bukan menghina, apalagi sampai mencela dan memperlakukan orang lain di hadapan umum, dalam pergaulan.

 

Kaidah 10: Muridnya guru, bukan muridnya buku

Diantara kesalahan paling mendasar yang dilakukan oleh sebagian dai muda adalah mengambil nash-nash Al-Qur’an maupun hadits secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa mau merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu. Dai perlu berguru pada orang alim yang ahli ilmu agar pemahamannya lebih komprehensif, sehingga dai akan berhati-hati. Alangkah perlunya seorang dai memiliki sikap Wara’ (kehati-hatian) di luar ilmu yang dia miliki, sehingga tidak merasa berat untuk mengatakan Laa Adrii (saya tidak tahu). Yakni dicontohkan, ketika Nabi didatangi Jibril bertanya tentang islam, iman, ihsan, dan ketika ditanya tentang Hari kiamat, beliau mengatakan bukannya yang lebih tahu adalah yang bertanya. Dengan ini Nabi mengajarkan pada para sahabat untuk berhati-hati mengatakan sesuatu diluar yang kita kuasai.

Pendidikan itu membutuhkan fiqih yang mendalam. Mustahil seorang dai memperoleh pemahaman yang mendalam apabila ia hanya menjadi muridnya buku, atau hanya mengumpulkan tulisan-tulisan dan menghafal isinya. Kalau ia ingin memiliki pemahaman yang benar, dia harus berhadapan dengan seorang guru yang membimbingnya. Seorang muslim tidak mungkin memperoleh pemahaman hanya dari lembaran-lembaran yang dia baca, melainkan harus melalui proses belajar kepada guru yang membimbingnya.

Jadi, untuk mencapai tegaknya syari’at islam, dibutuhkan pembinaan generasi melalui tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari fase pengenalan, penyucian diri, penyeleksian, sampai fase penanaman akidah untuk mewujudkan para dai sejati atau pilar-pilar dakwah. oleh karena itu, para dai wajib menjelaskan kepada objek dakwahnya tentang pentingnya menimba ilmu dari orang alim, atau dai yang cerdik yang memahami dakwahnya dan memahami manhajnya.

Disitu, bertemu antara guru dan murid. Dai perlu pula belabar dari pengalaman orang-orang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan, agar memelihara dirinya dari kesesatan. Seorang aktivis yang paham adalah orang yang mau mengambil pelajaran dari pengalaman dan berbagai eksperimen yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu.

Demikianlah, apabila seorang dai menjadi murid seorang imam dalam masalah fiqih dan harakah, pengetahuan dan pengalaman, nantinya ia akan bisa memberikan apa yang pernah dia peroleh dari guru-gurunya kepada orang yang mereka dakwahi, sehingga terwujudlah dakwah yang benar dengan pengalaman yang detail. Dengan demikian, dakwah akan mewarisi barakah serta menebar hidayah.

 

Resume BAB IV ‘Fiqih Dakwah’ oleh Jum’ah Amin Abdul Aziz

 

Syarifah Lubbna,0906511233

8 september 2012;

9.36 @Asrama AcehLt.4 Depok